|
Sebuah Keputusan Oleh: Wina Karnie
Matahari
masih menyisakan semburat warna jingga, dipesisir pantai sebelah barat. Hembusan angin dari seberang tak mampu meredakan gejolak
yang tengah berkecamuk di dada seorang gadis. Dia terlentang seorang diri, diatas hamparan pasir warna putih yang nampak indah
membentang disepanjang pantai Stanley. Karang-karang warna moka berjejer ditepian air laut, diantara tempat bakar-bakar, menambah
sempurnanya kecantikan pantai itu. Pun tetap tak jua bisa meredakan luapan rasa marah yang entah ingin ditujukan pada siapa.
Pada dirinya sendiri, atau sebaliknya pada orang yang telah mengkhianatinya, atau pada suratan dan takdir yang telah menghendakinya
demikian.
Wajah itu begitu lekat dan berkeliaran di pelupuk matanya. Seraut rupa yang ditinggalkannya hampir dua tahun
lalu. Namun hari ini, dirasakannya kegamangan dan kebimbangan yang sangat. Dia begitu lelah menghadapi kenyataan hidup. Cinta
suci perkawinannya telah terperciki racun, dia ingin membunuh cintanya, karena racun itu akan smakin mengikis jiwa bila diteruskan
mengakar.
Selama setengah tahun terakir ini, dia telah banyak merasakan perubahan pada diri dan sikap suaminya. Laki
- laki yang telah banyak memberikan kenangan manis dan pernah mengisi kehidupannya. Segala macam langkah dan cara telah ditempuhnya
untuk memperbaiki keadaan. Tapi ternyata tetap tak ada perubahan. Dia bukannya menyesal dengan apa yang telah dia lakukan,
tapi dia merasa jengah melakukan tindakan yang tak memberi manfaat berarti. Dia sudah berusaha bertahan dan bersabar, namun
keadaan semakin tak memungkinkan dan menjebaknya dalam satu pilihan. Deburan ombak begitu menyiksanya, membawa ingatannya
pada masa-masa indah ketika dulu mereka masih pacaran. Dia menyeret langkahnya untuk pergi meninggalkan tepian pantai itu.
*********
Jawa Club kemudian tempat yang dipilihnya, tempat nongkrong para TKW melepas lelah. Dia bermaksud
makan malam dan faicel wajah, agar pikirannya lebih rilex dan tak lari ke stress, namun ternyata didapatinya dua ranjang telah
terisi oleh orang lain.
Ayu, wanita itu bernama Ayu Azisyah. Tidak salah orang tuanya memberikan nama itu, karena
wajahnya memang cantik dan hou ngoi. Dia tertelungkup di meja, di bagian pojok kantin Jawa Club. Suasana cukup ramai, sebaliknya
yang dirasakannya tetaplah sepi yang panjang, mereka semuanya terasa asing di mata ayu. Para TKW itu melepaskan hari liburnya
dengan berbagai kegiatan yang dapat memberikan pleasure ke jiwa mereka. Tak jauh dari tempat Ayu, terdengar merdu sebuah lagu
yang dinyayikan oleh salah seorang TKW di bagian karaoke, "Aku Tak Biasa", judul lagu itu, lirik yang begitu sendu menggiring
perasaan Ayu, hingga terasa menyentuh relung hatinya dengan tiba-tiba. "Sanggupkah aku hidup tanpa dia?, suamiku." tanyanya
pada diri sendiri. Terjadi lagi pergolakan yang menghentakkan degup hatinya. Padahal tadi dia telah memutuskan untuk lei fan
dengan suaminya. Jamaludin telah dinikahinya tiga tahun yang lalu, dengan pesta yang sangat sederhana. Disebuah desa yang
sangat lekat dengan ingatannya, karena memang di tempat itulah Ayu dilahirkan dan dibesarkan, demikian juga Jamaludin yang
akrab dipanggil dengan sebutan Jay. Ketertarikan Ayu pada Jay adalah karena kelembutan dan kesahajaan laki-laki itu. Dia banyak
membantu Ayu semasa sekolah terutama sewaktu dia menghadapi masa-masa ujian. Jay seorang sarjana lulusan UGM ( Universitas
Gajah Mada ) dan karena kecerdasannya langsung mengajar di Universitas tersebut. Keberadaan Ayu di Hongkong Saat ini tak lain
adalah karena terdesak oleh ekonomi, dan atas seijin Jay, Akhirnya Ayu mendaftarkan diri sebagai TKW ( Tenaga Kerja Wanita
) dengan tujuan Hongkong. Untuk kebutuhan mereka berdua sehari-hari sebenarnya cukup, tapi Ayu tak sanggup menyaksikan kedua
orangtuanya yang telah renta harus membanting tulang, sedangkan adik-adiknya masih kecil dan membutuhkan banyak biaya untuk
pendidikan mereka. Walaupun sadar bahwa gaji Jay tak mungkin cukup untuk membantu adik adiknya, tapi kesungguhan Jay untuk
memperistri dirinya tak mungkin ditolaknya karena menurutnya tak baik menunda pernikahan. Hampir dua tahun ini, kehidupan
keluarganya lebih baik dibanding dengan sebelum Ayu bekerja di Hongkong. Separo gaji Ayu ditabung oleh Jay untuk bekal mendidik
anak-anaknya kelak. Begitulah planning mereka berdua. Mereka tak ingin anak-anak mereka nantinya terlantar, apalagi kekurangan
pendidikan. Usai dua tahun bekerja di Hongkong, Ayu berencana berwiraswasta di rumah, membuka butik sambil meneruskan hobinya
sebagai seorang penulis.
" Permisi, Mba. Sudah mau tutup. Sepuluh menit lagi pukul 20:00 pm." sapa salah seorang petugas
Jawa Club dengan ramahnya, " Ketiduran ya, Mba." tanyanya lagi sebagai basa-basi.
" Ah, ngga kok, capek aja." jawab
Ayu dengan suara malas.
Para BMI sudah banyak yang mulai pergi untuk pulang ke rumah majikan masing-masing, masih
tersisa beberapa orang dan terlihat chatting ketika dia longokkan kepalanya ke ruang internet. Ayu melangkah pergi dengan
gontai.
Jay masih membuntuti setiap jengkal langkahnya, hati Ayu gndah-gulana. Dia jadi ingin bertemu Jay dan mendengarkan
jawaban darinya bahwa berita yang disampaikan oleh ayahnya itu tidak benar. Ayu ingin mendengar pengakuan Jay bahwa Jay tidak
mungkin mengkhianatinya. Tapi, kenyataan berbicara lain. Dirasakannya Jay sangat keterlaluan, setega itu padanya, mengkhianati
ikrar mereka berdua ketika di depan penghulu. Sedangkan informasi dari kedua orangtuanya tak mungkin salah, mereka tak mungkin
berbohong pada Ayu. Ayu ingin berteriak, tapi kerongkongannya terasa kelu. Ditahannya supaya air mata tak jatuh untuk seorang
Jay.
" Ataukah memang Aku yang salah?" bantah Ayu dalam hati. Mencoba intropeksi diri dari pada harus mencari kesalahan
orang lain. Tetap jawabannya adalah sangat tidak adil bila harus berakhir dengan jalan yang sangat di benci Allah, cerai.
Poligami bukan satu-satunya jalan yang bisa diterima olehnya. Terdidik dilingkungan muslim yang kuat, bagi Ayu sebenarnya
sangat berat bila harus meninggalkan tanggung jawabnya terhadap Jay. Dia mampu untuk tidak berpaling dari Jay tapi mengapa
Jay tidak bisa. Itulah yang sangat disesalkan oleh Ayu. Padahal tujuan dia bekerja ke luar negeri adalah untuk kepentingan
bersama, bukan semata karena untuk keperluan pribadinya, atau supaya bebas dari tanggung jawabnya sebagai seorang istri.
Sungguh,
khabar itu telah menusuk-nusuk jantung Ayu, Jay semudah itu tergoda oleh wanita lain, semudah itu pula menghancurkan bahtera
perkawinan mereka. Seandainya telah kikis habis iman di dadanya , sejak pagi tadi dirinya telah jatuh dari apatement tertinggi
di Hongkong ini. Beruntung Ayu masih mau mendengarkan nasehat dan wejangan dari orang tuanya. Supaya semuanya itu dianggap
sebagai batu ujian dari Tuhan.
Yang lebih menyedihkan, satu bulan lagi ulang tahun pernikahan mereka yang ketiga.
Ayu menelan ludah. Menatap petugas berkaos hijau dengan pandangan kosong, tersenyum sebentar sebagai tanda terimakasih telah
mengingatkannya, dan tubuhnya kemudian lenyap di balik lift. Dering telpon dari Nokia 8310 membuyarkan lamunannya..,
"
Hello, where are you Honey?" sapa Paul mesra ketika Ayu menekan tombol Answer. Pria itu selalu rajin menayakan khabarnya.
Tidak lain adalah ingin mengecek keberadaan Ayu, takut terjadi sesuatu yang tak diinginkan atas diri Ayu.
" Paul,
I' m going home, I' m Fine. THanks." balas Ayu singkat, dan tanpa imbuhan kata lainnya ditombolnya tanda swhittoff. Dia tak
ingin berbicara dengan siapapun termasuk Paul. Dia ingin tenggelam dengan kegalauannya.
Paul seorang pengajar di sebuah
City College, tempat dimana Ayu kursus Komputer dan Bahasa Inggris. Pria berkebangsaan Sidney itu tertarik pada Ayu sejak
pertama mereka bertemu. Banyak yang telah Ayu paparkan pada Paul di suatu kesempatan, terutama tentang dirinya yang telah
berkeluarga. Paul tak pernah mau mengerti. Dia menunggu Ayu sampai kapanpun, bahkan Paul berjanji bersedia menjadi suami Ayu
setelah Jay. Sebagai orang timur, Ayu masih berpegang teguh pada norma yang telah mendarah daging pada dirinya. Dia juga tidak
mungkin akan mempersuami Paul. Tuhan pasti akan melaknatnya kelak. Sebisa mungkin dia berusaha menghindari Paul. Menghindari
tatapannya, rayuannya, dan janji-janji manis yang pernah disampaikan Paul pada kesempatan lalu. Dia tak ingin bertemu Paul
selain acara belajar. Ayu tau Paul pasti resah karena hari ini dia tak hadir di pertemuan Bahasa Inggris dan komputer. Dia
tak mau Paul membaca pikirannya.
Rumah majikannya masih tampak sepi ketika Ayu membuka pintu. Kebiasaan mereka sekfan
di restoran bila Ayu sedang libur. Jadi Ayu tak perlu disibukkan dengan urusan cuci piring ketika dia pulang dari libur. Ayu
langsung membantingkan tubuhnya ke ranjang. Matanya berbentrokan dengan gambar di atas meja kamarnya. Wajah dua mempelai berbalutkan
adat Jawa dalam bingkai berukuran 15R, foto dirinya dan Jay, diraihnya , perlahan diusapnya dengan jari-jarinya. Sesaat di
pandanginya, photo pernikahan yang sarat dengan kenangan manis, tapi detik ini manis itu telah berubah menjadi sebuah empedu
yang teramat pahit, yang terekam dalam benaknya saat ini adalah ketika Jay memacari salah satu mahasiswinya, ketika Jay bercumbu
mesra dengan mahasiswi yang kini telah dihamilinya 4 bulan itu. Dibiarkannya air mata itu jatuh.
Hati Ayu remuk-redam,
dan tak berapa lama bingkai photo itu telah hancur berserakan di lantai kamarnya. Ayu memejamkan mata, menutup wajahnya dengan
kedua telapak tangan, mencari jawab atas semuanya, " Ya Tuhan, sudah benarkah keputusanku?"
Terjemahan kata:
Faicel : cuci muka
Yau sik: libur / istirahat
Hou ngoi: wajah yang menyiratkan cinta
Sekfan:
makan
Pleasure: rasa nyaman, puas.
Swittoff: tidak aktif
chatting: berkomunikasi lewat internet
planning:
program/ perencanaan
lift: sarana penghubung dari lantai ke lantai dalam apartement.
Hello, where are you,
Honey? =Hallo, dimana kamu, sayang?
I am going home, I am fine. Thanks.=Saya lagi pulang ke rumah, saya baik. makasih
Cerpen 2
Tirai Kasih Ibu Oleh: Wina Karnie
Masih seperti kemarin, tidak ada yang berubah. Kampungku
masih terasa lengang. Begitu juga dengan rumahku. Tidak pernah kudengar tawa dan canda menghiasinya. Ayah tiriku sibuk dengan
rutinitasnya, ibu pun demikian. Liburanku serasa hampa. Hambar. Senyum ibu terasa mahal. Beribu-ribu dollar yang sering kukirim
untuk mereka tak mampu mengguratkan senyum di bibir keduanya. Bukankah itu yang ibu butuhkan selama ini? Aku merasa asing
di rumahku sendiri. Rumah yang kubangun dengan keringatku. Gerah. Setidaknya itu yang kurasakan. Setiap kali aku meminta ibu
supaya meluangkan sedikit waktu untukku, ibu selalu berkata, “Nanti, lagi banyak urusan.” Aku hanya mampu mengelus
dada. Ibuku wanita yang keras, segala kemauannya harus terpenuhi, apapun akan ditempuhnya. Aku sering resah dengan tingkah
ibu yang satu itu. Sempat terbersit dibenakku, apakah hati ibuku terbuat dari baja. Aku selalu gagal menembus pembuluh hatinya.
Apa yang salah denganku? Setelah Bapak pergi, ibu menjadi wanita single parent. Aku dan satu adikku berada dalam tanggung
jawabnya. Meskipun dalam asuhan nenek, untuk urusan biaya hidup, aku dan adikku tetap memintanya kepada ibu. Begitulah ibuku,
aku dan adikku kenyang dengan perlakuan kerasnya Jika kami nakal, tak segan dicubit atau dimakinya. Neneklah satu-satunya
orang yang mengerti keberadaanku sebagai anak kecil. Pernah kusesali mengapa terlahir dari rahim seorang perempuan seperti
ibuku… Dua puluh tahun yang lalu. Sembilan tahun usiaku ketika itu. Ketika mataku terbangun dari tidur, keluarga
kami diributkan oleh sebuah surat yang tergeletak di meja makan. Ternyata surat dari bapak, memberitahukan bahwa dia pergi
subuh tadi, merantau ke luar Jawa. Aku, Wina kecil tak begitu mengerti dengan maksud kepergiannya. Setauku bapak pergi
untuk bekerja. Setahun, dua tahun, tiga tahun, tak kunjung kudengar beritanya. Meskipun tanpa Bapak di rumah, aku merasa
tercukupi kasih sayang dengan keberadaan nenek buyut. Mungkin dialah wanita yang paling kucintai didunia ini. Mengapa bukan
ibuku? Tidakkah aku mengharap syurga dari ibuku? Bukankah syurga itu ada ditelapak kaki ibu? Aku tak peduli dengan kata mutiara
seperti itu. Toh, kenyataannya aku tak pernah menemukan celah mata air syurga disana. Aku benci ibu, aku benci ayah. Sepi.
Sunyi. Ketidakberadaan ayah membuat sepi isi rumah. Tidak ada pertengkaran mulut antara keduanya. Tak ada suara piring,
atau gelas pecah yang biasa dilempar oleh ayah bila sedang ribut dengan ibu. Ibuku cantik dan nilai sosialnya tinggi. Mengapa
bapakku tak bisa menyayanginya? Bapakku juga tampan dan memiliki kelembutan hati. Mengapa ibu tak mau menyadarinya
itu? Entahlah ketertarikan apa yang membuat keduanya dulu memutuskan untuk menikah. Keberadaan kami anak-anaknya, tak mampu
merubah semuanya. Aku pasrah pada garis hidup yang diberikan oleh Tuhan. Tiga tahun berikutnya. “Kamu harus menjadi
dirimu sendiri, jangan pernah toleh perilaku ibumu, bapakmu.” Kata kakek suatu sore hari. Aku sesungukan dihadapannya.
Kakekku ini adalah anak tunggal nenek buyut, ayah bapakku. Dia selalu menanamkan sikap disiplin kepadaku. Aku juga bisa menangkap
sorot kebenciannya kepada Ibu. Mungkin betul apa yang dikatakannya. Bagaimana mungkin aku akan bercermin pada ibu? Ibu yang
kemudian pergi juga meninggalkanku dengan laki-laki pilihannya. Aku sempat shok, dan tak tau harus berbuat apa. Aku sempat
mengeluh mengapa Tuhan memberikaan cobaan yang demikian berat kepadaku. Apa salahku? Yang terpikir olehku. Ibu hanya
memikirkan kepentingannya sendiri. Ibuku adalah wanita teregois yang pernah kutemui. Ibuku tak ada bedanya dengan bapak. Kuputuskan
untuk melupakan keduanya. Benar kata kakek, aku harus bisa menjadi diriku sendiri. Aku harus bercermin pada wajahku sendiri,
bukan pada wajah ibu atau bapakku. Aku akan buktikan pada dunia bahwa aku bukanlah mereka. Yah, ya. Walau kusadari bahwa darah
yang mengalir ditubuhku ini adalah perpaduan cinta diantara keduanya. Aku tidak mau tau. Ketika aku di SLTP 2 Takeran. Hampir
tiga tahun kulalui tanpa keduanya. Kambing nenekku terjual habis untuk membiayai sekolahku. Aku ingin melanjutkan ke SLTA,
karena nilai raportku tiap-tiap semester selalu menggembirakan. Sungguh sayang bila tak melanjutkan sekolah. Tapi itupun dari
pernyataan para tetanggaku. Toh, mereka tak mungkin membiayai sekolahku. Aku mulai kasihan melihat nenek yang semakin renta.
Sedangkan nenek buyutku telah meninggal beberapa bulan lalu. Menjelang ebtanas ibuku pulang! Gempar! Orang sekampung
gempar oleh tingkah ibu. Aku semakin tak mengenali ibuku. Terbersit dibenakku untuk tak mengenalnya sekalian. “Aku
tidak mau bapak tiri.” Protesku ketika kudengar ibu hendak menikah. Aku sempat mogok tidak makan tiga hari, mengunci
diri di dalam kamar. Mana mungkin aku berayahkan seorang laki-laki tua yang seharusnya kupanggil kakek. Ya Tuhan, cobaan apa
lagi ini. Pada saat-saat seperti itu aku hanya bisa mengingat Tuhan. Siapa lagi tempatku mengadu selain kepada-Nya? Aku sedih
dengan sikap ibu. Beliau seakan tak memberiku tempat di masyarakat. Bagaimana aku akan bergaul dengan masyarakat dengan keadaan
keluargaku yang seperti itu. Akhirnya aku pasrah, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Kubiarkan Ibuku berbuat sesuka hatinya.
Setidaknya aku telah mengingatkannya. Mungkin harus demikian garis hidup yang diberikan oleh Yang Maha Esa. “Bu,
Wina tidak ingin melanjutkan ke SMTA. Wina ingin mondok ke pesantren saja.” Kataku suatu saat seusai penerimaan nem-
ebtanas. “Tidak! Kamu harus sekolah lagi. Mau jadi apa kalau tak sekolah?” “Tapi, dari mana biayanya,
Bu? Wina tidak mau menyusahkan Ibu.” “Itu urusanku. Kamu tidak perlu memikirkannya, yang penting kamu harus
sekolah.” Aku diam sejenak. Ibuku memang keras. Jelas. Aku tidak mungkin menolaknya. Aku harus sekolah. Padahal paman
hendak membawaku ke pondok pesantren. Aku tau maksud paman. Dia mengkhawatirkan pertumbuhan jiwaku. “Baiklah kalau
memang itu yang Ibu mau. Tapi Wina ingin kos. Wina akan mendaftar ke SLTA 3 Magetan. Ibu doakan mudah-mudahan diterima.”
Aku ingin pergi sejauh-jauhnya dari hadapan Ibu. Begitulah, aku seakan berada dalam belenggu yang membuatku tidak bisa
bergerak. Meskipun duduk di SLTA 3 Magetan, aku tidak bahagia karenanya. Aku semakin tertekan bilamana melihat teman-temanku
bercengkerama tentang kehidupan keluarga mereka. Aku selalu berusaha menutup diri. Teman sebangkuku, Novitasari, sering membuatku
iri dengan segala fasilitas yang dimilikinya. Seorang ayah yang sangat menyayanginya, seorang Ibu yang sangat perhatian, dan
juga tetek- bengek kebutuhan materi yang serba terpenuhi, bahkan cenderung berlebih. “Win, boleh ngga Vita main
kerumah Wina? Sabtu ini kebetulan kedua orang tuaku keluar kota. Vita kesepian tanpa mereka dirumah.” “Emang
Andre ngga ngapelin kamu?” selorohku. “Cowok matre itu udah kuputusin, kami udah ngga jalan lagi.” Aku
hanya menganguk. Terkadang aku kasihan dengan Vita. Teman-teman cowok di kelas tempat kami belajar suka memanfaatkan keberadaan
Vita. Apalagi Vita anaknya masa bodoh. Setiap hari Vita selalu membawa makanan kecil untuk dibagikan pada teman-teman sekelas.
Keterlaluan si Andre, ternyata tak jauh beda dengan teman-teman cowok lainnya. “Tapi Vit, lain kali ajalah.”
Sanggahku. Aku tak mungkin membawa temanku pulang kerumah. Apalagi Vita. Gadis itu pastilah terbiasa dengan kehidupan
mewah dirumahnya. Aku tidak mau jadi bahan ejekan di kelas. “Sungguh! Vita ingin main ke rumah Wina.” “Gimana
kalau di kosan aja?,” tawarku. “Soalnya aku juga lagi males pulang.” Kilahku. “Gitu juga boleh.”
Jawab Vita menyerah. Begitulah akhirnya aku selamat untuk tidak membawa Vita pulang ke rumah. Aku tidak bisa membayangkan
andai Vita tau dirumahku ada seorang laki-laki tua, calon Bapakku. Ya Tuhan, entah sampai kapan cobaan ini berakhir. Andai
bapak pulang tentu tak akan serumit ini masalahnya. Bapak bisa saja kuminta kembali dengan ibu. Hanya bapaklah yang bisa menyelamatkannya.
Tapi bapak juga seakan tak mau tau. Setiap kali kusurati jawabnya selalu nanti dan nanti. Harapanku tergantung diantara mendung
yang kelabu. Aku tak mungkin mengharapkan keduanya. Aku harus rajin belajar. Tidak ada yang bisa merubah segala sesuatunya.
Terpulang kepada diri masing-masing. Masa depanku bukan berada di tangan Ibu atau bapakku. Tapi berada di tanganku sendiri.
Di dalam kepalan tanganku. “Win, kamu bisa belajar di tempat seramai ini? Banyak suara kendaraan lalu-lalang. Mengapa
memilih kos-kosan dipinggir jalan?” “Disini yang termurah.” Jawabku sekenanya. “Ngga ngeganggu
belajar?” “Ah, Vit. Sejak kapan kamu kayak ibu-ibu?” Kulihat Vita tertawa terbahak. Vita selalu masa
bodoh dengan urusan orang lain. Baru kali ini terlihat cerewetnya. “Itu tandanya aku sayang kamu, perhatian maksudku.”
Katanya membela diri. “Vit, kalau mau ganti baju pakai aja bajuku, dilemari itu, ambil sendiri.” Kataku seraya
menunjuk sebuah lemari yang terbuat dari kayu jati. Kutinggalkan Vita sendiri di dalam kamar. “Kemana?” Teriaknya
ketika daun pintu kamar tertutup. “Mandi.” Dua malam bersama Vita, ternyata menyenangkan sekali. Meskipun
hidup dikeluarga berada Vita bukan tipe gadis sombong. Itu satu hal yang sangat kusukai pada diri Vita. Tapi ada hal lain
yang sering membuatku jengkel. Bila tiba waktu ulangan aku suka diusilinnya. Tanya ini-itu, sangat mengganggu. Belum lagi
kalau ketahuan oleh guru kelas. Sering kami mendapatkan teguran. Hal lain kuketahui tentang kehidupan Vita, gadis itu ternyata
merasa kesepian sebagai anak tunggal. Sejak melahirkan dirinya Ibunya divonis gagal rahim. Tapi kupikir-pikir apa bedanya
aku dengan Vita. Meskipun aku punya adik perempuan, tapi kami juga jarang berkumpul. Sejak Ibu dan Bapak berpisah, aku total
dirawat oleh nenek dari ayah, sedang adikku dirawat oleh nenek dari ibu. Keluargaku total bercerai-berai. Baru-baru ini saja
aku berkumpul kembali dengan ibu dan adikku, itupun hanya sebatas hari sabtu dan minggu. Tiga tahun kemudian. Aku dinyatakan
lulus dengan nem yang lumayan gemilang. Satu hal lagi yang patut kusyukuri, aku mendapatkan peringkat sepuluh terbesar. Ketekunanku
belajar selama ini tidak sia-sia. Teman-temanku mendukung supaya aku melanjutkan ke UMPTN, cita-citaku tidaklah muluk, aku
ingin menjadi seorang guru. Lagi-lagi aku dihadapkan pada satu masalah besar yaitu ekonomi. Jelas, biaya kuliah tidaklah sedikit.
Tapi ketika ingat wejangan wali kelasku SLTP, Bapak Ahmad Setiawan, aku jadi termotivasi kembali untuk terus belajar. Selagi
ada kemauan, segala sesuatunya itu pasti akan ada jalan keluarnya. Begitu katanya, selalu, menasehati kami. Maka akupun berusaha
mencari-cari informasi, perguruan tinggi mana kira-kira yang sepatutnya aku jajaki. Ditengah-tengah kesibukanku mencari perguruan
tinggi saat itu, tiba-tiba kudengar khabar bahwa ayah kandungku pulang ke kampung. Tentu saja ini suatu berita paling menyenangkan
yang pernah kudengar. Ibu sendiri yang mengabarkannya waktu itu. “Kalau mau bertemu dengan Bapakmu, pergi saja ke
rumah Kakungmu. Bapakmu ada di sana sekarang.” Kata ibu. Dengan langkah berbunga-bunga aku berjalan ke arah rumah kakung.
Hatiku berdebar-debar. Sepanjang jalan aku mengira-ngira bagaimana wajah bapak saat ini. Sudah tuakah? Sudah keriputkah?
Satu hal lagi dalam harapanku. Semoga ini pertanda baik, dengan kehadiran bapak kembali aku berharab Ibu dapat bersatu
lagi dengan bapak dan tentu saja biaya kuliahku akan terbantu. Semoga bapak bisa menjadi dewa penolongku. Dengan mata
berkaca-kaca, kuhampiri bapak yang tengah duduk di atas kursi rotan. Lama aku terpaku dihadapannya. Tidak ada sepatah kata
mampu terucap dari bibirku. Dengan penuh kerinduan kupeluk bapak erat-erat. Air mata bening kerinduan yang kubendung bertahun-tahun
akhirnya jebol dan tumpah-ruah di pundak bapakku. Kami sama-sama menangis. Dengan lembut bapak mengusap air mata yang membasahi
pipiku. “Anakku sudah besar rupanya.” Kata bapak parau. Aku hanya mengangguk. “Adik mana?” Tanyanya
dengan raut wajah sendu. “Adik masih sekolah, nanti selepas magrhib baru pulang.” Jawabku dengan suara tertahan.
“Ini yang duduk disebelah Bapak adalah Ibu dan adik barumu.” Aku bagai tersambar petir di siang itu. Ibu
baru? Adik baru? Ya Tuhan, , mengapa tiada habisnya Kau berikan cobaan ini untukku? Salah apa aku ya Tuhan? Sanggupkah aku
melampauinya? Sanggupkah aku, Ya Tuhan? Air mataku kembali deras mengaliri pipiku. Kupaksakan tersenyum kepada mereka. Senyum
tergetir. Bisakah aku menerima kenyataan ini? “Kudengar kamu baru lulus? Masih mau sekolah lagi?” Aku mengangguk.
Aku hampir tak sudi menatap wajah bapak saat ini. “Nanti, Bapak akan usahakan untuk biaya sekolahmu.” Lagi-lagi
aku hanya mengangguk dan menunduk. “Bagaimana khabar Ibumu? Apakah dia baik-baik saja?” Aku mengangguk
lagi. Dalam hati aku menjawab, untuk apa tanya-tanya khabar ibu kalau disampingmu sudah ada penggantinya. Aku tak betah berlama-lama
berada diantara mereka, maka kuputuskan untuk pulang ke rumah nenek Din, Ibu Ibuku. ******* “Wina, ini nasi pecel
untuk makan siangmu.” Sapa Ibu dengan meletakkan sesuatu yang terbungkus dari daun pisang. Aku terhenyak dari lamunan. “Terimakasih.”
Jawabku sambil menganggukkan kepala. Nasi pecel sudah menjadi menuku setiap kali melewatkan liburan ke kampung. Ibu jarang
memasak untuk makan siang. Ternyata gaya hidup keluarga dirumahku sudah tak beda jauh dengan kehidupanku di Hongkong. Aku
tak begitu risau dengan hal itu. “Ibu…” Sapaku dengan suara tertahan. Kulihat Ibu tak bergeming dari
tempatnya. Aku pandangi wanita cantik yang semakin menua karena termakan usia itu. Usia yang dihabiskannya hanya untuk kebahagiaan
kami atau dirinya sendiri. Pada dasarnya manusia sebagai makluk individu selalu merasa tidak puas dengan apa-apa yang telah
didapatnya. Dan selama ini aku pun termasuk salah satunya. Aku sebagai individu telah terseret dalam keegoismean. Coba, seandainya
aku bisa berkomunikasi secara baik dengan ibu, tentu tidak separah ini penilaianku terhadapnya. Ya Tuhan, betapa kufurnya
aku selama ini. Aku yang hanya memanjakan pemikiranku tanpa mengindahkan bagaimana perasaan orang lain, yang mana dia
adalah ibuku sendiri. Andai aku bisa berpikir, tentu perasaan hina itu lebih besar disandang ibu daripadaku. Bukankah ibu
bisa saja berpikir, seandainya beliau tidak memiliki dua orang anak, aku dan adikku, yang merupakan titipan-Mu, tentu ibuku
tidak perlu menempuh cara-cara yang tidak etis itu guna menopang segala kebutuhan hidup. Bukankah aku tidak pernah mendengar
keluh-kesah itu dari bibir ibuku? Lalu mengapa aku tidak dapat melihat cinta ibu itu dengan kedua mata batinku? “Ibu……!!!”
Seruku dengan suara parau, air mataku hampir tumpah dari kelopak mata. Aku serasa berada di telaga bening yang airnya
sejuk dan membuaiku dalam damai, ketika kedua tangan ibu merengkuhku. Beliau masih mempunya insting yang tajam sebagai seorang
ibu. Aku menyelami lautan kasih ibu, telah bertahun-tahun kusia-siakan. (Hongkong, ‘April 2005)
Mau Nulis? Ya nulis saja.
|