Pelacur Agama
By Wina Karni
Mendengar kata pelacur maka ingatan kita akan digiring ke gang Doli dimana banyak para pelacur bersarang
di sana. Sebenarnya apa sih pelacur itu? Bila melihat dari kaca mata gang Doli, maka pendefinisian pelacur disini adalah sekelompok
manusia yang mengadakan transaksi jual beli diri. Suatu kelompok yang memaksa kepemilikan yang bukan pada tempatnya. Dalam
konteks hidup beragama, kepemilikan antar manusia itu sebenarnya telah terangkum dalam suatu kaidah yang disebut pernikahan.
Sekelompok manusia yang menyimpang dari kaidah inilah yang sering kita sebut sebagai pezina, dan para pezina itu
sadar ataupun tidak telah berjalan di atas rel pelacuran. Bukankah pelacuran selalu berawal dari perzinahan? Agama adalah
suatu hal yang dianggap sacral dan suci. Mengapa ada pelacuran dalam keaktivitasan beragama? Adalah kenyataan bila di alam
kehidupan universal terdapat individu-individu yang melacurkan agama. Banyak sekali dimensi dari kepelacuran itu. Sebagai
contoh dibawah berikut ini: Maraknya kasus yang terjadi di penjuru dunia dan di Hongkong belum lama ini, mengharuskan
kita untuk lebih teliti dalam menyikapi sebuah bahasan di Media. Contohnya di Internet atau di koran BI, sebagai media
telah memuat sebuah berita yang membuat gerah umat Islam. Haruskah kita terbakar dengan tulisan yang jelas-jelas tidak bermutu
tersebut? Baik itu kesengajaan ataupun ketidaksengajaan, sebagai umat Islam pada khususnya, kita haruslah pandai-pandai membawa
diri. Penulis artikel tak bertanggung jawab itu tak lebih sebagai pelacur agama. Kenapa?, karena penulis artikel itu dengan
sengaja atau tidak, telah menjual dan memanipulasi ajaran dan syariat agama, tindakannya itu menimbulkan keresahan umat. Lebih
dari itu bisa menimbulkan persengketaan diantara kaum beragama. Bukankah para pelacur di gang Doli itu juga membuat
resah para ibu-ibu rumah tangga? Sampai berakibat fatal pada kehancuran rumah tangga? Jadi langkah apa yang harus kita ambil?
Haruskah kita mencari sampai ketemu penulisnya, lalu menghujat balik? Haruskah kita tuntut media itu untuk tutup dari peredaran?
Tentunya tidak bukan? Terpulang pada sengaja atau ketidaksengajaan, secara etika jurnalistik media tersebut jelas salah.
Coba kita adakan perbandingan dengan sebuah contoh berikut, bagaimana andai rumah seorang ustad ditumpangi oleh sepasang
manusia yang ternyata bukan suami istri, tapi sepasang manusia yang menghalalkan perzinahan. Siapakah yang patut disalahkan?
Pemilik rumah yang ceroboh yang tidak melakukan evaluasi sebelumnya dengan menanyakan buku nikah? Ataukah sepasang anak manusia
yang dengan sengaja ingin menjatuhkan reputasi ustad tersebut? Media tetaplah media, pelacur agama tetaplah pelacur agama.
Media ibaratnya sebuah rumah. Pelacur tetaplah pelacur yang mempunyai misi dan visinya. Jadi ibaratnya sebuah rumah prostitusi
meskipun kita hancurkan dan kita bakar, selama sang pelacur masih hidup dan dapat bernafas, dia akan terus merajalela dipermukaan
bumi guna menggoda para pria hidung belang. Demikianpun dengan pelacur agama ini. Bagaimanapun kita menghujat sebuah media,
bilamana pelacur-pelacur agama tersebut dibiarkan berkembang biak tetaplah akan menimbulkan keresahan umat. Jadi yang lebih
perlu kita perhatikan adalah bagaimana supaya pelacur-pelacur agama itu tidak berkembang biak, karena sesekali media kecolongan,
pelacur agama itu akan terus menyelundupkan aksinya. Dalam hal ini pihak media dituntut untuk lebih waspada dan teliti supaya
pelacur-pelacur lainnyapun tidak akan bersarang di media tersebut. Di istana kerajaan pun banyak pelacur berseliweran.
Dari yangberkedok sebagai pelacur pembela rakyat miskin, bahkan sampai para manusia bertopeng yang bersuara sebagai pembela
kaumnya sendiri. Kedewasaan dalam bersikap dan bertutur kata biasanya selalu ditandai dengan kematangan berpikir.
Pelbagai pengalaman biasanya berawal dari pelbagai kesalahan, karenanya kita dituntut untuk lebih dewasa dalam menyikapi segala
aspek kehidupan. Sejauh ini apakah kita juga telah melakukan evaluasi diri dengan adanya beragam dimensi dari
pelacuran seperti itu? Apakah secara tidak sadar kita pernah menjadi seorang pelacur?
Tertawa & Menangis, Sama di Mata Tuhan. By: Wina Karnie Pertama kita dilahirkan, menangis
adalah salah satu bentuk ekspresi dan perwujudan, bahwa seorang jabang bayi telah selamat lahir ke dunia Fana. Respon dari
orang-oarang yang menunggu dari kelahiran bayi tersebut adalah bahagia, walaupun penampakannya bukan dalam bentuk tertawa.
Saat orang merasa bahagia, maka tertawa bahkan tersenyum adalah sebagai hegemoninya. Begitulah, di suatu sore ketika saya
sendirian sedang duduk manis di Mc. Donald, sambil menikmati menu nuggets, segelas the susu hangat, dan sebungkus fried
French. Bangku yang besar dan tampak kosong karena hanya terisi saya seorang, memberikan banyak peluang pada pengunjung lain
untuk bergabung duduk. Pertama kali, duduk dihadapan saya seorang laki-laki bule. Saya hampir tak mendengar sapaannya, meminta
ijin kepada saya untuk bergabung. Saya sedang asyik membaca sebuah buku. Lalu jawab saya hanyalah, “Sory, yes please.” Sesekali
matanya mengamati buku yang saya baca. Saya cuek saja. Heran. Meskipun tanpa saya respon keberadaannya, laki-laki itu tetap
ramah memandangi saya, dan senyum itu selalu mengembang diantara bibirnya. Di sesion yang kedua setelah dia pergi , duduk
seorang wanita tua keturunan China. Aku tak pedulikan kehadirannya disampingku. Ketika mata saya sempat melirik, lagi-lagi
wanita tua itu sedang mengamati saya yang sedang membaca sebuah buku. Dilirikan yang kedua, saya amati dia sedang tertawa
sendirian. Bukankah saya tidak sedang membaca cerita anekdot. Andaipun anekdot buku yang saya baca , wanita tua itupun pasti
tidak akan mengerti apa isi dan maksudnya. Akhirnya saya justru terfokus pada wanita tua itu. Ternyata orang gila ada dimana-mana.
Saya baru sadar kalu wanita tua itu gila, ketika saya dapatkan dia lama termenung, lalu tersenyum mengembang, selanjutnya
tertawa sendirian. Seperti mengerti ketidaksukaan saya akan keberadaannya disebelah saya, dia pun pergi meninggalkan bangku
dimana saya berada dan justru pindah di bangku yang berseberangan dari saya. Apa bedanya, justru saya dapat melihatnya dengan
jelas dari tempat saya duduk. Benarkah wanita tua itu bahagia disepanjang hidupnya? Mungkin saja dia sedang membayangkan cucunya
yang lucu-lucu, kerabatnya yang penuh perhatian, entahlah saya tak tau jelas.
Saya dan Pernikahan Oleh: Wina Karnie
Tak ada
gading yang tak retak, tak ada manusia yang sempurna di dunia ini, namun sebagai makluk yang diciptakan paling sempurna diantara
makluk lainnya, tugas kita sebagai manusia adalah menjalankan fitrah sebagai hamba Sang Pencipta Alam Semesta ini. Bila
pada usia 20-an pada sebagian manusia telah hidup berpasang-pasangan, kemudian melahirkan anak-anak mereka, dan hidup
rukun dengan keluarga masing-masing lantas bagaimana dengan mereka yang usianya hampir berkepala tiga, tapi belum menemukan
pasangannya. Pada makluk yang bergelar Adam tentu bukanlah merupakan suatu kecemasan yang hebat, namun pada diri sebagian
wanita bahkan 90% diantaranya tentulah
sangat mencemaskan keadaan tersebut.
Menikah
merupakan salah satu fitrah sebagai manusia untuk membina kehidupan yang layak dan diridhoi oleh Allah SWT, karenanya ketika
kita memutuskan untuk menikah jangan sekali-kali karena merasa dikejar oleh usia, terpaksa atau dipaksakan oleh seseorang,
ataupun karena perzinahan yang telah kamu lakukan sekalipun. Menikah karena cinta dan taqwa kepada Allah saya yakin pasti
akan lebih bermanfaat dan di ridhoi oleh Allah SWT. Allah maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Maha Pemurah dan Maha Pengampun,
Dia Maha Adil lagi Bijaksana, tak ada ketakutan untuk mendapatkan pasangan yang lebih baik dan bertaqwa kepada-Nya selagi
iklhas bertaubat.
Saya bukanlah
seorang kyai ataupun ustad, saya juga bukanlah seorang ahli agama, tapi setidaknya selama hampir 28 tahun saya hidup di lingkungan
orang-orang yang beragama walau tak bisa dipungkiri lingkungan yang tak mendukung juga turut andil membangun jiwa saya. Dan
di usia yang hampir 28 tahun itulah saya sadar dengan sesadar-sadarnya, bahwa saya perlu menikah, saya punya kewajiban dan
tanggung-jawab sebagai umat Nabi Muhammad SAW, sebagai calon ibu saya punya kewajiban untuk melahirkan anak-anak yang berbakti
pada orang tua dan agama. Kemudian yang terpikir dalam benak saya adalah menikah.
Menikah
bukanlah hal yang mudah , kenyatannya, tapi sebenarnya juga bukan hal yang sulit. Yang tak mudah adalah menemukan orang
yang tepat, kadang sempat terbersit dalam benak saya apakah saya tipe seorang yang idealis. Bila pada usia saya saat ini yang
hampir mencapai kepala tiga, dan saya masih belum menemukan orang yang tepat, permasalahan sebenarnya bertumpu pada privacy
yang sulit untuk saya keutarakan pada banyak orang apalagi calon pendamping saya. Lingkungan tempat dimana saya pernah dibesarkan
sangat meracuni jiwa saya hingga saya tak pernah berpikir untuk menikah. Saya takut keributan, saya takut disia-siakan oleh
pasangan, saya takut ditinggalkan, dan masih banyak ketakutan lainnya hingga saya merasa menikah tak beda halnya dengan menuju
pintu neraka dunia. Padahal agama islam mengajarkan bahwa menikah adalah salah satu jalan menuju Syurga. Menikah
itu adalah ibadah. Saya ingin menikah supaya dapat melakukan ibadah tersebut. Tapi bukan karena menginginkan syurga itu.
Dapatkah
saya menemukan pasagan yang tepat untuk menjadi pendamping (suami) saya, seseorang yang beragama Islam, taat beragama dan
baik akhlaknya, menjauhi kemaksiatan, kuat semangat jihadnya, dari keluarga yang shalih, taat kepada orang tua, mandiri dalam
ekonomi, kualitasnya setara atau lebih baik dari pada saya, dapat memimpin keluarga, bertanggung jawab, dapat bersikap adil
dan berperilaku halus, serta tidak kikir. Di belahan bumi yang manakah dapat saya temukan sosok yang demikian itu. Bila kriteria
pertama dapat saya temukan dan tentu itu bukan hal yang sulit, tapi bagaimana dengan kriteria yang selanjutnya. Karena pada
kenyataanya tidak sedikit pria yang memeluk Islam tapi tak baik akhlaknya atau selalu berbuat maksiat dan terkadang bukan
dari keluarga yang shalih, atau bahkan selalu bersikap kasar.
Jadi, bila
saat ini saya belum menikah, saya lebih rela dikatai perawan tua ataupun seorang idealis, walau pada kenyataannya sebagai
seorang wanita saya juga bukanlah sempurna dari kriteria-kriteria yang ditetapkan sebagai sosok yang menjadi pilihan. Tidak
salah kiranya bila saya menginginkan kehidupan yang lebih baik fiddunya wal akhiroh (dunia dan akhirat).
Bukan karena
dollar yang berlimpah yang menjadi sebab mengapa saya belum menikah, bukan pula karena menginginkan sosok yang ganteng seperti
artis-artis Holliwood, dan juga bukan karena ingin meraup kebebasan dengan melajang. Saya ingin menjadi sosok yang bisa
memenuhi kriteria seorang istri dan selebihnya keinginan saya pun tak lepas dari itu. Sebagai umat Rasullulloh, saya ingin
hidup dilingkungan yang baik, saya ingin bertaubat dengan dosa yang telah saya lakukan, saya ingin belajar menjadi seorang
yang sabar, saya ingin berusaha untuk menawan hati pasangan saya dengan selalu ceria dan bahagia disampingnya, saya ingin
menjadi wanita yang bisa beramanah, hanya bersolek untuk suami saya, kufu' dalam beragama, tidak materialistis, senang
menyambung ikatan kerabat, pandai menyimpan rahasia pasangan, menjadi wanita yang subur, tabah dalam menghadapi segala
cobaan, tidak sebagai seorang pencemburu buta, berperangai luhur dan berkata-kata menyenangkan, mempunyai cinta yang besar,
patuh dan taat kepada suami, berhemat, mempunya cinta kasih yang besar terhadap anak-anak, dan menjadi wanita yang mudah untuk
dilamar (tidak menetapkan mas kawin yang memberatkan pasangan dalam bentuk apapun) . Ternyata masih banyak tugas yang mesti
saya emban untuk menjadi calon istri. Tolong beri saya kesempatan!!
Keberadaan
saya saat ini ( di Hongkong ), bukan karena saya berusaha lari dari kenyataan. Adalah semata untuk mengais rezeki, guna meringankan
beban orang tua dan membahagiakan keluarga. Walau sebenarnya sepenuhnya rezeki yang saya dapatkan tak 100% persen halal, karena
saya sering meninggalkan sholat karena tugas dari pekerjaan. Semoga Tuhan mengampuninya. Dia maha tau . Saya tak akan mengambil
jalan pintas dengan menikah dengan penduduk setempat, meskipun berakhlak baik sekalipun, karena Allah lebih memberatkan kepada
seorang wanita untuk menikah dengan laki-laki 'karena agama dan akhlaknyanya' demikianpun sebaliknya. Tidak sedikit kenyataan
berbicara, dan itu adalah kuasa Tuhan, dan saya yakin dengan seyakin-yakinnya. Mereka yang menyimpang dari amanah Allah Tuhan
seru sekalian alam, berapa diantara mereka yang kehidupan keluarganya bahagia, segelintir dan hampir tak ada bukan, berapa
diantara mereka yang porak- poranda rumah tangganya, tak terhitung jumlahnya.
Yang terjadi
dengan kehidupan rumah tangga teman-teman saya juga tak jauh beda dan sungguh sangat memprihatinkan. Padahal nasehat
sering saya keutarakan agar berpikir panjang sebelum mengambil keputusan, sebelum mereka menjatuhkan pilihan menikah dengan
pemimpin keluarga di luar keyakinan mereka, apa kata mereka , " terlanjur basah nyegur sekalian, saya sudah diperawani
oleh mereka, selayaknya kami menikah." Sebuah kata yang cukup klies tapi tak masuk diakal. Dengan bermaksud merubah mereka
(pasangannya) menjadi berkeyakinan sama, karena merasa sudah diperawani dijadikan dalih untuk meneruskan kebodohan. Kesalahan
seharusnya untuk dibenahi bukan untuk di perparah. Siapa yang rugi....? Bukankah Allah SWT menerima taubat umatnya selagi
dilakukan dengan sungguh-sungguh dan hati yang tulus ikhlas. Saya heran mengapa janji Allah ini tak mereka yakini, dan lebih
yakin dengan keyakinan mereka sendiri yang pada akhirnya benar-benar menjadi momok bagi kehidupan rumah tangga mereka. Apa
kebanggaan yang didapatkan dengan menjadi 'Nyonya Hongkong' apabila kenyatannya tak ada yang dapat merubah menjadi lebih
baik menurut agama. Mungkin ungkapan saya itu menusuk jantung anda yang merasa, atau saya jadikan sebuah nasehat untuk diri
sendiri bila terbersit keinginan untuk menikah dengan orang yang kafir, bukan maksud saya menyakiti, tapi semoga darah yang
keluar dari luka anda itu adalah racun yang selama ini membelenggu anda, sehingga anda tersadar dan sembuh dari sakit dan
berkenan bertaubat kepada Allah SWT, Dzat yang maha agung, arif, bijaksana , dan maha pengampun lagi pengasih.
Kesempatan,
saya butuh itu untuk membangun jiwa dan akhlak yang bersih dan suci, supaya saya menjadi wanita yang berkualitas sampai akhirnya
siap untuk mendampingi seorang laki-laki yang beriman dan bertaqwa kepada Allah dan Rasull-Nya. Percayalah selalu ada greget
dihati saya untuk disebut sebagai seorang istri, dipanggil ibu oleh anak-anaknya. Saya tetap merindukan syurga dunia
dalam sebuah keluarga yang sakinah . Semoga !!!!!!! Amiin, Amiin, Amiin ya robbal a'lamiin!!!!!!
Hongkong, Last april 2004.
(Forum Lingkar Pena)
Siapkan mental untuk bekal
Belakangan sering terjadi banyak kasus diantara kalangan TKI, dari overstay, penyalahan visa kerja,
pemotongan hari libur, under payment, dan sampai tindak kekerasan oleh majikan yang berbuntut pada kriminalitas diri.Untuk
mencegah hal-hal yang tidak diinginkan tersebut, bagi seorang TKI yang berada di perantauan, banyak hal yang perlu diperhatikan.
Terutama adalah kesiapan mental. Karena pada dasarnya setiap psikologis individu satu dengan yang lainnya itu berbeda, jadi
perlu penomalisiran psiko yang seimbang yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Seperti khasus teman kita
Alm. Suprihatin, saya yakin itu diluar kehendaknya, dan khasus semacam pada kenyataannya sering kita temui dalam beberapa
tahun terakhir ini. Tentu ini sebuah record yang sangat menyedihkan di dunia TKI. Terutama untuk para PJTKI,
alangkah baiknya kalau tidak hanya pandai mengeruk keuntungan dari para TKI yang merantau ke negeri seberang, tapi juga pintarlah
memanajement para anak buahnya, bagaimana supaya menjadi sumber daya manusia yang berkualitas. Tindakan agent
yang tidak memihak kepada para TKI juga justru menjadi bumerang bagi para TKI pemula. Karena apa? Satu-satunya agent dalam
hal ini yang diharapkan oleh para TKI bisa menjadi tempat mereka berkeluh kesah justru sebaliknya, hanya mengandalkan
kata 'sabar' kepada anak buahnya, bahkan terkadang cenderung menyalahkan employment dan membela employer. Kalau seorang
majikan telah berbuat diluar batas-batas kemanusiaan, pada tingkatan yang mana kesabaran itu bisa di sinyalisir? Kita
juga jangan hanya mengoreksi orang lain, terkadang mengoreksi diri atau bercermin diri itu perlu. Saat kita menjadi TKI pemula,
pada saat itulah sebenarnya kita dihadapkan pada lingkungan baru. Karena itu jangan bosan untuk terus belajar,
termasuk mempelajari situasi dan kondisi disekeliling kita. Seperti apa sih perangai majikan saya? Apa saja sih keinginan-keinginannya
dengan menggaji saya HKD$3200? Kalau kita mampu menguasai area dimana kita berada, saya yakin sekali kalau kasus-kasus
bunuh diri dalam lingkungan TKI itu tak perlu terjadi. Dalam hal ini kesiapan mental sangat besar peranannya. Pendekatan
diri pada Tuhan pencipta alam juga bisa menjadi sarana guna mencegah hal-hal buruk dalam keehidupan TKI. Karena di saat mereka
sudah merasa tidak punya siapa-siapa, setidaknya mereka masih mengingat bahwa ada Sang Pencipta yang sesungguhnya selalu setia
mendampingi setiap denyut nafas kita. Kenapa tidak pada-Nya kita berkeluh-kesah? Bukankah Dia Maha Mendengar? Hal-hal kecil
seperti ini terkadang sering kita lupakan. Tuhan itu selalu ada bukan? Di mana pun kita berada. Jadi dengan menghadirkan cinta-Nya
bisa menjadikan suatu power pada setiap manusia. Sering terdengar protes, "Saya tidak diijinkan sholat dan bla...bla..." Sholat
yang sering kita sebut sebagai sarana untuk kita mendekatkan diri bukankah bisa kita kerjakan dalam keadaan yang
bagaimanapun, semampu kita? Tujuan sholat adalah untuk mengingat sang pencipta, bukan? Jadi dalam keadaan bagaimanapun kita
dapat melakukan pendekatan diri itu kepada Tuhan. Kita bisa melakukannya sebatas kemampuan kita. Selanjutnya
komunikasi itu sangat besar peranannya. Karena itu saat di PJTKI jangan malas untuk belajar. Komunikasi yang baik bisa mempererat
hubungan emosional antar pekerja dan majikannya. Contoh kongkret yang saya alami saat masa training di Surabaya; ketika saya
mendapatkan seorang majikan yang terbilang super cerewet menurut pandangan teman sekerja waktu itu. Bahkan supir yang telah
bekerja satu tahun disitu pun mengamini pendapat teman saya tersebut. Bagi saya ini adalah suatu tantangan. Karena apa? Tujuan
saya adalah Hongkong. Kemungkinan-kemungkinan yang lebih buruk dari yang saya alami pada saat itu bsa saja terjadi di perantauan
nanti. Dari situlah saya belajar bagaimana menguasaikeadaan. salah satunya dengan komunkasi. seorang majikan yang super cerewet
menurut standart mereka justru saya tanggapi dan sikapi dengan positif. diantaranya saya gunakan kecerewetannya itu untuk
benyak bertanya tentang hal-hal yang belum pernah saya ketahui, terutama di dunia pramuwisma. Dari komunikasi tersebut akhirnya
terbangun suatu sikap saling menghargai diantara kami. Bahkan perasaan sayang itu pun tumbuh seiring dengan waktu. terkadang
apa yang kita dapatkan itu adalahbuah dari perbuatan. dan itu saya rasa benar. Contoh lainketika Saudara sya yang kebetulan
pindah majikan dan mengeluhkan kecerewetan majikannya, yang saya lakukan adalah memberikan penjelasan, bahwa tidak ada manusia
yanghatinya tidak bisa luluh. Jangan takut tapi juga jangan mau ditindas. Kalau majikan menyalahkan sistem kerja kita, dengarkan
saja dan coba telusuri apa kemauan-kemauannya. Saya yakin sekali kesabaran dalam pemahaman habitat ini sangat baik sekali
pengaruhnya dalam peningkatan hubungan antar majikan dan pekerja.Karena apa? Ketika kita berpindah majikan,berarti pula
sistem kerja kita juga berbeda dari yang dulu. Yang sering salah kaprah karena merasa sudah punya pengalaman kerja para pekerja
punya keegoisan menerima masukan sistem kerja baru dari majikan dengan protes mengatakan bahwa mereka cerewet. Padahal kalau
kita mau thingking positif kecerewetan itu bisa kita manfaatkan untuk hal-hal positif seperti pengalaman saya diatas. Bagaimanapun
sulitnya kita di sini, selagi ada upaya pembentukan jiwa yang tegar, Insyaallah akan membuat kita nyaman dalam bekerja. Dan
jangan hanya melihat seberapa yang orang lain berikan kepada kita, tapi galilah seberapa yang telah kita berikan kepada orang
lain. Selagi kita mencintai apa yang kita kerjakan, perasaan-perasaan tertekan itu tak perlu ada. Terkadang memang aneh, kita
sering mengganggap pekerjaan pramuwiswa itu tak lebih baik dan bukan keinginan dan tujuan dalam hidup kita.Padahal apa sih
bedanya bentuk pekerjaan? Bukankah di mata Tuhan itu sama? (By: Wina Karnie)
To create this e-zine, I just sat down and thought to myself: what do I like to read? The content comes from a variety of
sources: some I've written myself, some has been written by friends, and some has been contributed by other Internet users
just like you. I hope you enjoy this e-zine. Be sure to send e-mail to let me know what you think (or to contribute
articles or ideas). I'll be updating frequently, so check back often!
|