Jilbab
Oleh : wina karnie
Ginasih duduk terpekur di atas
sajadahnya. Malam semakin tua. Itu adalah satu-satunya pertemuan terbaik dengan-Nya. Ada hal yang membuat Ginasih risau akhir-akhir ini. Sebelum
berangkat ke Hongkong, dia muslimah yang taat. Tapi semenjak keberadaannya di Hongkong sebagai pembantu, telah banyak yang
berubah. ‘Ya Allah, berilah hamba petunjuk guna menjalankan syariat agama-Mu. Walaupun hidup di negeri perantauan,
jauh dari sanak dan saudara, bukan
berarti aku harus jauh dengan-Mu, kan? Dengan langkah bagaimana, ya Allah, agar aku dapat tertib sholat lima waktu dan kembali mengenakan jilbabku.’ Ginasih khusu’ berdoa.
“Gina…,” panggil Mrs Huang suatu pagi. “sedang apa kamu di dapur?” tanya majikannya setelah
melihat Ginasih.
“Saya sedang menyiapkan chou jan.” jawabnya.
“Nanti malam ada kerabatku dari Macau datang ke sini. Siapin menu untuk dua
orang lagi, ya?”
“Baik, Thai Thai.” sahutnya sambil mengangguk.
Memasak
salah satu pekerjaan yang disukai Ginasih. Seketika dalam benaknya telah terdaftar berbagai menu. Di dalam kulkas masih
terdapat pau yi, sejenis hewan laut pemberian saudara majikannya di Australia. Tinggal membeli satu ekor ayam untuk pelengkapnya.
Ginasih akan membuatnya soup. Saudara majikannya itu juga menyukai masakan
pedas, karenanya kepiting dengan bumbu kare adalah masakan yang tepat untuk mereka. Tinggal menambahkan satu piring sayur,
satu piring tem ikan, dan satu piring ca siu. Dia tersenyum simpul, “Ah,
mereka pasti akan senang menikmatinya dan memujiku sebagai koki professional”.
Sore
harinya dengan menyeret keranjang roda untuk belanja, Ginasih menyusuri pasar Mongkok, dia harus mendapatkan bahan yang baik.
Ketika berada di kios Ayam, matanya tak lepas memandangi seseorang. Wanita yang dijumpainya itu mengenakan jilbab.
Keduanya saling akrab, mereka bercerita mengenai suka-duka sebagai pembantu di keluarga asing, apalagi non muslim.
Kendala keduanya saat pertama tiba di Hong Kong
adalah pada bahasa. Tidak semua warga Hongkong mengetahui bahasa ingrish. Sedangkan para majikan, selalu menuntut para pembantunya
agar patuh. Tak pelak, para nakerwan mengalah dengan berusaha mengerti kantonis. Ilmu yang didapatkan dari PJTKI, tidak memadai bila digunakan dalam percakapan keseharian. Ginasih tergolong pembantu yang cerdas. Belum
genap dua tahun bekerja pada keluarga Huang, dia dapat berkomunikasi dengan baik.
“Pak ho bai, sap ho bai…!” seru pelayan pemotong
ayam, memberitahukan bahwa pesanan ayam dengan nomor delapan dan nomor sepuluh sudah
boleh diambil.
Pikiran Ginasih masih diliputi pertanyaan.
Dia heran kenapa teman barunya ini boleh mengenakan jilbab saat pergi ke pasar, setahunya
majikan di Hongkong tidak suka pembantu mereka bertingkah neko-neko. Ginasih pun memberanikan diri bertanya.
“Sri, kok kamu boleh pakai jilbab di hari kerja. Biasanya kan
majikan ngga ngijinkan?” tanya Ginasih penuh selidik. Teman barunya itu bernama Sriatun. Dia berasal dari kota Ngawi, Magetan. Satu kabupaten dengan Ginasih, bedanya kalau Ginasih
dari kelurahan Takeran.
“Kenapa tidak? Tapi ini memang kemujuran bagiku.” jawab Sri penuh syukur.
“Kemujuran bagaimana? Majikanmu seorang
Muslimkah?
“Bukan.” jawab Sri mantab.
“Lalu….?” sahut Ginasih
penasaran.
“Ya, sama seperti majikanmu. Aku mau
percaya apa saja, ngga masalah. Bagi majikanku, yang penting dalam hidup itu, bekerja. Begitulah, mereka bertuhan pada kesibukan.”
ungkap sri.
“Oh, gitu to, Sri, berarti mereka atheis, kalau majikanku
sebenarnya juga baik. Mereka penganut Budha. Sayangnya..,”
“Kenapa?”
sahut Sri heran.
“Aku tak boleh sholat, apalagi berjilbab
sepertimu. Bahkan, kemarin ada temanku yang diinterminite karena ketahuan sedang sholat.” keluh Ginasih. Ginasih hanya
mengerjakan sholat dengan mencuri-curi waktu dan pakai jilbab pun hanya pada saat libur. Itupun
tidak dipakainya dari rumah, dan dilepasnya sebelum memasuki rumah.
Meskipun tak banyak yang Sri ungkapkan, tapi
Ginasih merasa bahagia bertemu dengannya. Keinginannya untuk mengenakan jilbab semakin menggebu-gebu. Tapi, dalam pandangan
masyarakat Hongkong, termasuk majikannya, bahwa Islam itu agama teroris. Hanya sejauh itu yang mereka ketahui tentang Muslim.
Dikarenakan, mereka tidak mau mempelajari Islam. Karena arah rumah mereka berbeda,
keduanya pun berpisah.
Dengan tubuh bermandi keringat Ginasih sampai
juga di rumah. Dipindahkannya belanjaan itu ke dalam kulkas. Selagi tak ada majikan, dia luangkan sedikit waktu, sekedar rebahan
di sofa ruang tamu. ‘Sekali-kali belaga boss.’ Pikirnya. Dalam benak Ginasih masih dipenuhi pelbagai pertanyaan.
Sri teman barunya itu, menimbulkan kecemburuan dirinya kepada Tuhan.
*&*&*&*
Malam harinya, meskipun pikirannya masih
galau, dia dapat mnyelesaikan pekerjaannya dengan baik. Ginasih berjalan ke arah meja makan, meletakkan sepiring kepiting
rasa kare. Selang lima menit kemudian telah siap; sepiring
tumis kangkung, steam ikan, dan ca siu, yang dibelinya tadi siang. Melihat menu
yang serba istimewa itu, majikannya memuji Ginasih habis-habisan.
“wuao…, menu yang sangat bagus.” Mr dan Mrs Chan, saudara majikannya, turut berkomentar. Ginasih
tersenyum sesaat.
“Ayo sama-sama makan.” ajak majikannya.
“To che, Thai thai. Saya ke dapur dulu membereskan peralatan kotor.”
seraya mengangguk Ginasih berlalu menuju dapur.
Dari dapur terdengar suara canda dan tawa
mereka.
“Sangat lezat, tumis kangkung ini.”
komentar kedua tamunnya.
“Stem ikannya juga hou wat, hou
mei to.”
“Gina..! Colea..!” seru majikannya.
Ginasih bergegas meninggalkan dapur dan beranjak ke ruang makan. Ginasih agak gregetan dalam hati. ‘Sudah
dibilangin makan nanti saja, kok.’ gerutunya. Pekerjaannya sedikit
lagi sudah selesai. Dia tak terbiasa meninggalkan dapur dalam keadaan kotor.
“Ya, Thai thai. Messia.” tanya Ginasih dengan raut heran. Saat
itu wajah majikannya tak seceria tadi.
“Niko
melei ga?”
“Thau…Thaufat.” jawab Ginasih dengan bibir gemetar. Dipandanginya sehelai rambut panjang.
Rambut miliknya, karena di rumah itu, tidak ada yang mempunyai rambut sepanjang itu selain dirinya. Rambut itu terapit diantara
kedua sumpit majikannya. “Kenapa tak kamu ikat rambutmu?”
“Tuemcu, Thai thai. Ngo mo sam ka.” katanya membela diri
“Sudah berapa kali peristiwa seperti ini terjadi?” Ginasih diam tanpa berani menjawab sepatah kata. “bawa
ke dapur soup ini, mau kamu buang, terserah.” Ginasih bertambah sedih hatinya.
Dia menyesali keteledorannya. Dia berjanji tidak akan lagi ceroboh. Bukan salah rambutnya, tanpa diperintah, jatuh
sendiri ke dalam soup. Seingatnya, dari bangun pagi tadi, dia belum melepas ikatan rambut. ‘Namanya juga lagi sial.’
Gumam Ginasih. Akhir-akhir ini rambutnya memang sering rontok. Mungkin karena ketidakcocokan
shampoonya.
Ada hal yang dikuatirkan oleh Ginasih. Majikannya bisa
saja berprasangka bahwa rambut itu dia gunakan sebagai alat untuk mengguna-gunainya. Ginasih sering mendengar isu, ada beberapa
pembantu diinterminite karena ketauan mengguna-gunai majikan.
“Aduh, gawat kalau begitu!” serunya hampir tak
sadar. Kalau sampai itu terjadi, berarti dia kehilangan pekerjaan, sedangkan keluarganya di kampung masih membutuhkan uluran
tangannya. Melihat kemarahan majkannya tadi, bisa jadi keesokan paginya, dia
diinterminite. Orang Hongkong tak mengenal kompromi. Tapi, sesuatu tiba-tiba terlintas di kepalanya. Ia bergegas ke ruang tamu.
“Thai thai, boleh saya bicara sesuatu?” kata Ginasih agak ragu.
“Ada apa? Faithi kong ‘a.”
jawab majikannya acuh. Ginasih mulai bicara penuh semangat.
“Thai Thai, tolong jangan interminite saya. Saya janji tidak akan mengulanginya lagi.
“Siapa yang menjaminnya?” Ginasih diam.
“Thai Thai, tolong beri saya kesempatan. Saya yengsing.”
“Apa kamu berjanji akan menggunduli rambutmu, supaya tak sehelai rambut pun tercecer di rumah ini?”
“Jangan, Thai Thai, please!”
“Lalu…? Apa maumu? Pertama kali, sepiring sayuran
yang menjadi korban, aku biarkan. Kedua kalinya, stem ikan kesukaanku, aku maafkan kamu. Dan barusan yat po pau yi thong.
Kamu tau harga pau yi di sini sangat mahal, kan?”
Ginasih tentu saja tahu, karena dia yang setiap hari berbelanja. Tapi dia lebih
memilih diam, daripada berbantahan dengan majikannya. Bisa rawan. Tapi jika hanya
diam dan diam, majikannya bisa saja menjatuhkan talaq interminite. Dengan segenap keberanian Ginasih pun berkata.
“Thai Thai, saya janji akan selalu mengikat rambut. Tidak
hanya mengikat rambut, saya juga akan selalu menutupinya, saat di rumah, belanja kepasar, dan juga mengantar makanan ke kantor.”
Ginasih berkata dengan berapi-api.
“Maksudnya….?” tanya majikannya tak mengerti.
“Di rumah Gina akan mengenakan kerudung yang biasa dipakai
buat mandi itu.” Ginasih berlari ke toilet mengambil kerudung mandi dan menunjukkan kepada majikannya.
“Keluar rumah dengan itu juga? Apa kamu tidak akan di
anggap jisin?”
“Jika
keluar rumah, Gina akan pakai yang terbuat dari kain.” dengan gesit Ginasih bergegas ke kamarnya dan mengambil sebuah
kerudung, lalu membawanya ke hadapan majikannya, “gini, Thai Thai. Gini cara makainya.” Ginasih mempraktekkan
cara mengenakan kerudung, “rambut Gina tak akan jatuh lagi. Aman kan,
Nyonya?”
Majikannya terdiam, tak segera menjawab pertanyaan Ginasih. Dia memperhatikan wajah Ginasih dengan kerudung
di kepalanya. Ginasih menunggu dengan hati berdebar-debar, antara harap dan cemas, layaknya menunggu keputusan hakim.
“Ternyata pembantuku lebih leng nui, si man, dan
hou dim dengan kerudung itu.” Ginasih nyaris melompat. ‘Yess…!’ serunya dalam hati. Ginasih
tersenyum mengembang. Dia tidak mungkin mengatakan alasan sesungguhnya. Ginasih merasa, lewat sehelai rambut, Allah telah
menjawab doanya.
(Hong Kong, Feb, 2005)
HUJAN
Oleh: Wina
Suara langkah kaki, terdengar mendekati bilik kamarku. Sepertinya ada sesuatu yang tak wajar. Bukankah hanya aku yang ada di rumah ini? Aku yakin semua pintu rumah terkunci rapat.
Aku sendiri yang memeriksanya sebelum masuk ke peraduan. Mas Harys tidak mungkin
pulang secepat ini. Minggu depan dia baru menyelesaikan tugasnya. Seandainya pulang lebih cepat, dia pasti akan menelponku
terlebih dulu. Kurapatkan telinga ke dinding pintu, dadaku berdegup semakin tak menentu, menahan rasa takut yang mulai menjalar.
Tubuhku begetar, nafasku hampir berhenti, dan suara langkah kaki itu pun berhenti pula..
Aku mulai merinding, bulu-bulu tanganku berdiri. Aku tak bisa menghubungi orang lain , karena
telpon rumah berada di ruang tamu. Di kamarku belum sempat kupasang pesawat telpon,
padahal aku telah membelinya dua hari lalu. Kupikir menunggu Mas Harys pulang.
Bulan tak tampak, sehingga di luar gelap mencekam. Hujan sejak sore tadi belum reda. Teringat
jelas dalam benakku , tepatnya 2 thn lalu, ketika aku dan Mas Harys terperangkap dalam hujan. Kami berteduh di sebuah rumah
tua kosong. Petir bersahutan dan air hujan terus mengguyur dari atas langit.
Kota Situbondo sangat rawan dengan banjir. Kami berpelukan tanpa bisa berbuat banyak. Doa selalu kami panjatkan agar hujan
seketika reda, supaya kami terbebas dari kungkungan hujan . Akhirnya kami bermalam
di rumah tua itu. Waktu berada dalam kecemasan, semuanya akan menjadi aman dengan
adanya Mas Harys, karena laki-laki itu begitu menyanyangiku dengan sepenuh hati. Dia lakukan apa saja untuk kebahagianku.
Tapi saat ini, apa yang bisa kulakukan? Tanpa sadar bibirku mengucapkan doa-doa, memohon perlindungan dari Allah. Mungkinkah
ada penjahat yang memasuki rumahku....? Belum sempat terjawab pertanyan dalam hatiku, kudengar suara dari luar....
"Ma.., ini aku, Papa." suara itu mengagetkanku .
"Benarkah Mas Harys, di situ?" tanyaku tak percaya dengan bibir gemetar.
"Buka pintunya, Ma. Aku basah kuyup karena hujan." setelah yakin bahwa itu suara Mas Harys, pintu pun kukuak perlahan. Aku berhambur dalam peluknya. Kudekap erat suamiku, kutumpahkan
sejuta rasa di dadanya.
"Pa, kenapa tak kasih khabar dulu ke Mama, suara
langkah kaki di luar tadi, kukira orang lain, papa jahat dech, papa jahat, bikin mama ketakutan." serbuku seraya memukulkan
kedua tanganku ke dadanya. Suamiku geli, menertawakanku kemudian.
"Sejak kapan istriku jadi seorang penakut?”
Aku tersipu malu. Kubimbing suamiku ke kamar mandi , kubantu mengelap tubuhnya yang basah kuyup
karena hujan.
Mas Harys benar, biasanya aku tidak penakut seperti sekarang ini. Aku sudah terbiasa ditinggalkannya
menjalankan tugas. Sebagai seorang pilot, Mas Harys lebih banyak di udara dari pada di darat. Dia hanya menemuiku diakhir pekan disaat libur. Hari ini rupanya ada pembatalan penerbangan, karena hujan lebat dan cuaca yang tidak bersahabat. Ketakutanku saat ini, mungkin, karena pengaruh pembuatan
film misteri yang sedang digarap oleh Image production. Di mana, di dalamnya aku bekerja sebagai asisten sutradara. Tugasku
membantu sutradara mengarahkan para pemain. Film itu hampir selesai dalam waktu dekat, tinggal beberapa episode yang belum
tergarap, karena situasi yang tidak memungkinkan. Hampir tiap hari hujan, menyebabkan syuting tertunda. Aku sempat mengusulkan
ke sutradara supaya skenerio diubah, dengan mengambil setting disaat hari hujan. Tapi karena pertimbangan lain sutradara tak
menyetujui usulku. Aku mengerti alasannya. Para pemain akan menggerutu atau bahkan meminta honor dobel. Pertimbangan lain adalah dalam keadaan hujan alat-alat
tekhnisi akan lebih cepat rusak. Terpaksa syuting pun terbengkalai.
Di ladang kering orang-orang mengharap hujan, para petani bergembira karena sawah-sawah mereka segera menghijau. Tapi hujan yang berlebihan seperti akhir-akhir ini, siapapun tak mengharapkannya. Kota-kota yang terletak
di dataran rendah, sudah banyak terendam banjir. Kegiatan di outdoor terpaksa tertunda, bahkan sawah-sawah yang diharapkan
menghijau pun tak luput dari genangan air. Alam semakin enggan bersahabat. Aku
menghela nafas, mendesah berat.
"Kenapa, Ma?" tanya suamiku tiba-tiba.
"Ah, tidak." aku menggeleng. .
"Sepertinya ada yang kau pikirkan?"
"Aku hanya berpikir tentang hujan" jelasku apa adanya.
"Masih risau karena syutingmu yang tertunda karena hujan?"
"Bukan itu saja. Hujan menyebabkan sebagian penduduk kehilangan pemukiman, para petani juga kehilangan
hasil panennya, dan...."
"Dan aku pun harus rela tak terbang ke Singapore hari ini." sahut suamiku. Kami menertawakan
nasib kami. Suamiku mendekatkan bibirnya di telingaku.... "aku akan mengajak mama terbang malam ini, bukan ke Singapore tapi
ketempat lain.”
“Terbang kemana?”
“Hanya kita berdua di sana. Aku akan mengajak mama menggapai gugusan bintang dan memetiknya
satu persatu, setelahnya kita singgah ke peraduan rembulan, di sana kita nikmati biasnya yang hangat menyentuh asa kita. Bagaimana,
Ma?"
Kupandangi wajah suamiku, kutatap bola matanya yang penuh cinta. Aku tau ada yang bergolak dalam
dadanya, aku pun tak tahan mendengar kidung cinta yang barusan ditembangkannya. Hujan lebat mengantarkan kami kepercintaan
yang hebat. Suasana dingin tak membuat kami lelah. Kami terus mendaki bukit dan
ngarai. Akhirnya kami sampai juga ke gugusan bulan. Aku terbaring di dadanya dengan senyum bahagia. Kulirik suamiku, dia terpejam
menikmati setiap sentuhanku. Dia orang terhebat dalam hidupku.
Pagi hari, embun-embun berjatuhan ke tanah yang masih basah oleh hujan. Kusibakkan rambutku yang
basah oleh air kran. Langit masih mendung. Mudah-mudahan tidak ada hujan, seperti perkiraan cuaca di televisi memberitahukan.
Kulihat suamiku sudah siap dengan pakaian kerjanya. Aku mengagumi dan begitu bangga memilikinya. Kecupan mesra di keningku
tak pernah dia lupakan sebelum berangkat kerja. Kubalas dengan menyentuh lembut bibirnya seraya berkata, "Pa, take care yah."
dia mengangguk kecil dan memelukku sesaat, kemudian meluncurkan mobilnya.
Entahlah, tiba-tiba aku merasa sangat kesepian. Baru beberapa detik dia meninggalkanku, tapi
rindu menyeruak kebilik hatiku dengan sangat. Apa yang terjadi denganku? Kubalikkan tubuhku ke dalam rumah. Kuhempaskan ke sofa, tak ada kegiatan lain yang bisa kulakukan selain menonton TV. Aku ingin sekali
menelpon suamiku.
"Ada apa, Honey?" suara dari seberang bertanya. Suara milik suamiku di pesawat telpon. Tentu suamiku tak akan percaya, bila kujelaskan, aku menelponnya hanya sekedar menyampaikan kerinduan.
"Pa, bawain aku oleh-oleh dari Singapore." kilahku.
"Of cource."
"Take care, Pa."
"Thanks, Honey."
Aku lega bisa mendengarkan suaranya. Suara itu bagai
embun di pagi hari ini, begitu sejuk dan membelaiku dalam damai.
Jam 4;00 sore nanti, dia akan memulai penerbangan. Dari Jakarta ke Singapore dan diteruskan dengan
penerbangan ke Hongkong. Aku bisa membayangkan kelelahan suamiku. Enam jam mengemudikan pesawat besi dan harus bertanggung
jawab atas ratusan nyawa penumpang. Sebagai penumpang, aku merasa amat jenuh dengan waktu enam jam dalam pesawat. Padahal
hanya sekedar duduk dan menunggu pesawat untuk landing . Aku berharap penerbangannya hari ini sukses seperti hari-hari sebelumnya.
Menjelang magrib, petir bersahutan tanpa diundang. 'Astagfirllohalngadzim,' seruku dalam
hati. Petir pertanda akan turun hujan. Bukankah perkiraan cuaca memberitakan bahwa hari ini tak ada hujan? Bagaimana nasib
Mas Harys nantinya? Berjuang melawan kabut dan awan, juga hujan yang terus mengucur dari langit. Semoga tak ada hujan hari
ini. Tapi, tepat disaat aku selesai menunaikan sholat Magrhib hujan deras mengucur
dari langit. Aku hanya bisa meminta perlindungan atas suamiku lewat doa. Aku berharap Allah mendengarkan doa yang aku panjatkan.
Mudah-mudahan, Mas Harys telah mendarat di Singapore. Mudah-mudahan, karena hujan penerbangan Singapore-Hongkong akan dicancel.
Aku berharap tak ada hujan di Singapore saat ini. Usai memberesi peralatan sholat aku segera mencari informasi tentang perkiraan
cuaca di Singapore.
Aku hubungi pesawat telpon di tempat suamiku bekerja. Dari seberang bagian informasi memberitahukan
bahwa penerbangan Jakarta-Singapore tertunda satu jam, dari jam 4;00 mundur hingga jam 5;00 sore. Itu berarti suamiku masih
di udara mengemudikan pesawatnya.
Sungguh! Aku sangat trauma dengan hujan. Hujan telah merenggut orang-orang yang kucintai. Keluargaku
terhanyut oleh air bah. Peristiwa itu terjadi beberapa tahun silam. Ketika aku masih kecil dan belum mengerti artinya kehilangan.
Aku selamat, karena orang tuaku menitipkanku ke tetangga yang melakukan pengungsian terlebih dulu. Ayah dan ibuku menunggu
kakakku pulang dari masjid, padahal air telah menggenang hampir satu meter. Dan pada akhirnya semua menjadi terlambat untuk
diselamatkan. Aku harus kehilangan ketiga-tiganya. Aku Fitry kecil, harus menerima kenyataan sebagai anak yatim piatu, usiaku baru lima tahun.
Keluarga Rahmat yang membesarkan dan mendidikku dengan penuh cinta kasih. Sampai aku bisa hidup mandiri. Mas
Harys suamiku adalah anak kandungnya. Kebersamaan kami dari kecil menumbuhkan cinta kasih yang teramat dalam. Tinggal ibu
angkatku yang masih hidup dan selalu kujenguk seminggu sekali. Wanita itu begitu tegar. Pak Rahmat yang berprofesi sama dengan
suamiku telah terlebih dulu meninggalkan kami karena kecelakaan di udara. Hujan menyebabkan pesawat yang dikemudikannya ambruk
sebelum landing. Aku selalu cemas oleh hujan, kecuali aku sedang bersama suamiku. Aku tak ingin, apa yang terjadi pada bapak
angkatku menimpa pada suamiku. Aku ingin hidup dengannya sampai kami menimang anak cucu nantinya.
Ah, tadi malam kami sempat membicarakan tentang anak-anak yang bakal kami miliki. Mas Harys meminta lima anak
dari rahimku. Tentu saja aku marah-marah karena itu melanggar program keluarga berencana, dengan istilahnya KB. "Kita harus
membantu pemerintah menyukseskan program-programnya." jelasku. Tapi dia tidak mau tahu, malah mendekapku erat hingga aku tak
bisa berbuat banyak kecuali mengiyakan permintaannya.
Sesaat, kunyalakan pesawat televisi, barangkali ada kabar menggembirakan kudapatkan dari sana.
Semua chanel mengulas tentang pemilu dan para kader yang tengah memimpin demo. Aku benar-benar jenuh dan muak dengan janji
para kader yang hanya manis di bibir saja. Tiba-tiba ada sisipan berita, mataku mengawasinya tanpa berkedip sekalipun. Pesawat,
sebuah pesawat hampir jatuh tepat di perairan dekat singapore. “Jangan
ada suamiku di dalamnya." jeritku histeris. Tak ada yang mendengar suaraku. Kusimak dengan lebih seksama. "Berkat kepiawaian
seorang pilot yang telah sukses melakukan penerbangan LN, pesawat mampu diselamatkan
dengan mendarat darurat di tepi pantai." Kutarik nafas lega. Kulihat lebih
teliti, tampak wajah suamiku di pesawat televisi. Seorang reporter menyalaminya
dan mengucapkan beribu terimakasih. Kupeluk pesawat TV di depanku. Kusampaikan terimakasih dan puji syukur kepada Tuhan. Karena
perlindungan-Nya, kebesaran-Nya , cinta kasih-Nya, suamiku, dan ratusan nyawa
lainnya selamat dari musibah itu. Televisi kembali menontonkan rakyat yang tengah melakukan pesta . Sekali lagi aku muak dan
perutku terasa sangat mulas. Aku muntah-muntah di kamar mandi. Kepalaku agak pening. Aku ingat, sudah dua bulan ini tamuku
tak datang. Aku tersenyum simpul. Aku masih ingat kata-kata suamiku tadi malam. Dia ingin lima anak dari rahimku. Selain atas
kuasa Tuhan, aku yakin keinginannya untuk memiliki anak-anak yang lahir dari rahimku adalah sebuah kekuatan, berjuang agar
tetap berada disampingku, agar aku melahirkan anak-anaknya.
Reda. Hujan reda seketika. Hari telah gelap kembali, seperti kemarin Aku tak merasa ketakutan
lagi. Aku telah merasa meliliki seorang teman. Dalam kandunganku telah hidup satu makluk hasil buah cinta kami. Kubelai perutku,
kubayangkan suamiku tengah tertidur manja di dekatnya.
Dua hari sudah aku menunggu kepulangan suamiku. Seharusnya, sore ini dia sudah sampai di rumah
dan membawakan oleh-oleh untukku. Aku suka mengoleksi boneka kecil kerajinan khas Singapore. Sebuah mobil mendarat tepat di
halaman rumahku. Bukan mobil suamiku. Aku menarik nafas resah.
"Nyonya Harys?' sapanya tepat berada di depanku.
"Ya, benar." jawabku gugup.
"Saya ada khabar tentang suami Nyonya."
"Dia baik-baik saja, bukan?" kataku meyakinkan.
"Dia menugaskan saya untuk mengantar oleh-oleh yang Nyonya pesan." jawabnya sembari mengeluarkan
bungkusan kecil dari dalam tas.
"Di mana dia, katakan di mana suami saya saat ini, mengapa harus anda yang menemui saya?”
kataku mulai panik.
"Dia baik-baik saja, Nyonya.”
“Benarkah?”
“Suami Nyonya, ada di dalam mobil." jawabnya seraya menunjuk sebuah mobil yang terpakir
di halaman sebelah rumah. Aku segera berhambur ke sana. Benar, suamiku ada di dalamnya. Aku menangis haru, kujatuhkan tubuhku
dalam peluknya. Sebuah tangis kebahagiaan, aku masih sempat menatapnya hari ini.
"Pa, kau jahat, kenapa harus mempermainkanku?"
"Pasti berpikir yang tidak-tidak tentangku. Iya, begitu, kan?' katanya seraya mencubit hidungku.
Aku bermanja dalam peluknya.
"Pa , aku begitu takut kehilanganmu."
"Mama, Mama,” keluhnya padaku, “Mama harus menyerahkan segala sesuatunya kehadirat
Allah." Aku mengangguk. Kami berjalan menuju rumah. Sore ini tak ada hujan. Aku bahagia tiada tara.
|
|
|
Cermin Yang Retak
Oleh : Winna Karnie
Udara terasa panas dan gerah. Negeri tercinta
ini masih seperti dulu . Tanganku sibuk menyeka keringat yang berjatuhan lewat pori-pori kulit wajah. Terik matahari terasa
membakar kulitku. Hampir empat jam aku mematung di pintu luar bandara-2 Soekarno-Hatta. Aku hampir tak dapat menguasai perasaanku.
Bagaimana mungkin dia tak hadir menjemputku? Mengapa harus Farhan yang datang dengan
langkah tergopoh-gopoh, padahal Ary lah yang kuharapkan disaat ini.
Rasa kesal, emosi, dan rindu, berdesak-desakan
menjadi satu . Air mataku pun hampir tak dapat kukuasai. Sumpah serapah keluar dari mulutku. Kulihat Farhan hanya mengelengkan
kepalanya. Tangannya menenteng koper dan tasku. Dia tau betul sifatku. Dalam keadaan emosi seperti ini aku tak suka diganggu
gugat.
Taxi meluncur meninggalkan bandara. Kami terdiam di dalamnya.
Entahlah, apa yang dipikirkan oleh Farhan. Pria ini jauh lebih muda dariku. Tapi sikapnya begitu dewasa. Lucu. Tiba-tiba ingatanku
mengembara ke akir tahun lalu. Dulu kami juga terdiam begini. Saat kami bertemu pertama kali. Masih kuingat bagaimana pengakuannya.
Akulah satu-satunya gadis yang mampu membuatnya gila. Akulah gadis yang mengisi
dan selalu menghantui pikirannya selama ini. Tapi, rupanya suratan menghendaki
lain.
Ya Tuhan, mengapa kami Kau pertemukan dengan jalan berbeda
keyakinan. Kami tak kuasa menentang kehendak-Mu. Aku pun sangat menyayanginya hingga saat ini. Meskipun telah ada Ary dalam
hidupku. Jelas di ingatanku, bagaimana dia berusaha keluar dari jeratan cinta itu. Bagaimana dengan berat hati, dia memanggilku
kakak. Persaudaraan itu tetap terjalin hingga saat ini. Dia selalu sabar mendengar keluh kesahku. Aku tak pernah pedulikan
itu.
“Jangan suka melamun." aku terkesiap kaget. Kuhela nafas, dia
tersipu malu. Setahun lamanya kami dipisahkan oleh lautan, bukit dan ngarai. Dia masih tampak lugu dan polos seperti dulu.
"Sapa yang melamun?” kilahku, “masih lama yah, dimana kau akan mencarikan aku kos-kosan? Aku pulang ke
Semarang satu minggu kemudian, setelah urusanku beres."
Tanpa sebab aku mulai resah.
"Ditempat yang dulu saja, masih ingat dengan Bu Wury, kan?" Aku diam dengan raut wajah tak mengerti. Kulihat kepalanya melongok kearah depan.
“Nggak begitu
ingat, sih” jawabku sekenanya.
"Tuh, hampir nyampai." jelasnya, telunjuk jarinya menuding
ke sebuah perumahan di Taman Anggrek. Aku ingat. Bu Wury seorang ibu kos yang sabar. Sayang sekali, aku tak sempat membelikan
tanda mata untuknya. Aku pun pulang dadakan, karena harus secepatnya bertemu
dengan Ary. Tapi pria itu entah kemana . Lenyap dengan tiba-tiba. Nomor rumahnya tak ada jawaban. Telpon selulernya juga tak
aktif.
Kuletakkan koper ke dalam kamar. Farhan masih menungguku
di ruang tamu.
" Far, antar aku ke pantai. Aku butuh udara segar." kataku setelah berpamitan dengan ibu kos. Farhan memandangku heran.
"Kau tak istirahat, kau tak capek?" katanya sembari tersenyum. Senyum itu manis sekali. Aku menikmatinya meski hanya
sesaat.
*&*&*&
"Kulihat kau tampak resah, tak biasanya kau tak bicara."
Kutatap laut lepas tanpa batas. Riak kecilnya sungguh indah.
Debu-debu berterbangan dipermainkan angin. Kebesaran Tuhan. Tapi Cinta telah menghantar nafsuku untuk mengingkari kebesaran-Nya.
Ya Allah, bagaimana dia bisa merasakan kegundahanku? Dia selalu care kepadaku.
Ya Tuhan, haruskan aku bicara, haruskah aku berterus terang kepadanya? Masih sanggupkah aku menatap sepasang mata itu seandainya
dia tahu tentang keadaanku yang sebenarnya. Aku bingung. Dia selalu menasehatiku supaya aku tak terjebak dalam pergaulan.
Dia selalu menandaskan bahwa kawin hanya untuk nikah. Dia masuk Islam karena cinta.
sedangkan aku mendzolimi diriku karena
cinta. Ya Tuhan, mungkinkah ini suatu hukuman untukku?
"Salsa, kau dengar suaraku?" sapa Farhan dengan lembut.
Kerongkonganku terasa kelu. Aku seperti tak punya pita suara untuk menjawab pertanyaannya. Aku telah menyia-nyiakan pria di
hadapanku ini. “Salsa, katakan sesuatu. Ada apa? Apa yang bisa kubantu?"
"Farhan, mengapa
kau selalu baik padaku ?" suaraku parau memecah hening. Dia menatapku dengan teduh, merengkuhku dalam peluknya, mendekapku
tanpa sepatah kata terucap. Lama kami saling terdiam. Hanya suara ombak yang terdengar sahdu. Mengiringi tangisku yang pecah
tanpa bisa kuelakkan. Degup nafasnya terasa berat. Aku tahu apa yang tengah dirasakannya. Masih ada cinta di sana. Begitu dalam dia menyembunyikannya. Aku terguguk pilu. Kucoba bangkit dari peluknya.
"Far, aku hamil." kataku dengan mata nanar. Pandanganku kosong. Farhan bergeser dari duduknya. Tangannya yang kekar
mencengkeram kedua lenganku. Farhan sangat terkejut mendengarnya.
"Bagaimana mungkin, bagaimana itu bisa terjadi ? Aku sudah sering mengingatkannya padamu, kan?"
Mata itu tiba-tiba berubah. Tak seteduh tadi. Aku gemetar
di tempatku. Baru pertama kali ini aku melihat kemarahannya.
Tiga bulan lalu. Semuanya terjadi begitu cepat. Mengapa pula dia harus menyelesaikan syuting di Central ? Mengapa kami
harus bertemu, akirnya melepas rindu dan memadu cinta? Godaan dari pria bule selalu dapat aku tepis dengan manis. Meski tinggal
di apartement seorang diri aku tak pernah merasa kesepian. Pekerjaan cukup menyita waktuku. Berangkat pagi dan pulang sore
tak memberiku kesempatan untuk berpikir tentangnya. Tapi ketika dia tiba-tiba datang mengunjungiku? Mengapa Tuhan? Mengapa? Mengapa kami tak kuasa mengendalikan nafsu. Ataukah itu sudah suratan hidupku?
Mengapa aku tak mengingat-Mu ketika itu? Cinta telah menyesatkan jalanku. Kutatap Farhan dengan wajah penuh sesal.
"Aku ikhlas memberikannya, karena aku mencintainya."
"Bentuk
cinta yang bagaimana? Lalu, bentuk pertanggungjawaban yang bagaimanakah pula yang akan kau berikan pada Sang Khalik?" mata
Farhan terlihat merah menahan marah.
"Aku bingung, Far. Aku tak menyesal telah dihamilinya. Tapi aku sangat menyesal telah melakukan dosa. Zina. Entahlah,
hukuman apa yang lebih pantas atas dosa yang pernah kuperbuat. Far, apa yang harus kulakukan?"
"Houh..." Farhan menghela nafas . Pandangannya berubah penuh iba. Apakah aku sepantasnya
dikasihani? Mengapa aku selalu menyusahkannya?
"Ary kah yang selayaknya bertanggung jawab?"
Aku mengangguk.
"Di mana alamatnya , kuantar kau kesana."
"Far,
tidak. Ibunya tak pernah merestui."
"Tapi,
dia harus tau kalau anaknya telah menyebabkan kau hamil.”
"Far, tidak. Ketika kujelaskan di pesawat telpon, dia telah
mencelaku habis-habisan. Jangan sakiti aku dengan cara itu. Aku lelah , Far. Lelah."
"Lalu apa alasan dia tak menjemputmu?"
Aku menggelengkan
kepala. Farhan terlihat kesal dengan sikapku.
"Sehari sebelumnya dia sms padaku, dia mengajakku menikah secara diam-diam. Tanpa sepengetahuan ibunya," kucoba tersenyum
tipis, "aku senang dan bahagia tiada tara. Bahkan, katanya, dia telah memesan sebuah cincin kawin. Mana aku tahu kenyataannya
seperti ini?"
"Bagaimanapun juga, kau harus kuantar kesana." Farhan mengajakku
meninggalkan tepi pantai. Aku masih terpaku di tempatku. Matahari mulai tenggelam di balik cakrawala. Rasanya aku ingin tenggelam
juga bersamanya. Tiba-tiba terlintas ide konyol. Aku tak boleh menoreh aib di keluargaku. Apa salahnya aborsi.
"Far, antarkan aku untuk aborsi."
"Gila! Apa kau sudah gila?"
Untuk yang keduakalinya Farhan terbelalak marah.
" Salsa..., jangan sesatkan dirimu terlalu jauh. Kau tau.., aku sangat menyayangimu. Aku tak ingin melihatmu seperti
ini. Kau akan semakin terhimpit sesal dan dosa nantinya. Hidup memang tak seindah yang
kita bayangkan. Hidup ini adalah tantangan yang harus kita hadapi. Kau harus tegar. Tegar! Hei.., mana Salsa yang dulu, mana
salsa yang selalu tertawa renyah saat bertelpon denganku. Sal..., jangan mencoba lari dari kenyataan." ungkap Farhan panjang
lebar. Kuhela nafas panjang. Kujatuhkan kepalaku dalam peluknya. Aku sangat terharu dengan ungkapannya. Dia begitu dewasa
dan bersahaja.
" Yah.., aku memang bukan Salsa yang kau kenal dulu. Banyak hal yang tak
kau ketahui selama ini. Jiwaku telah retak. Kau lihat sampah yang bertumpuk di ujung sana? Dia masih lebih beruntung daripada
diriku. Ataukah, tidak lebih baik, bila aku mati bersama anak yang sedang kukandung ini ? Far.., katakan, masih pantaskah
aku hidup di bumi ciptaan-Nya ini? Sedangkan aku selalu mendzolimi-Nya. Aku sering menganggap-Nya tak ada padahal Dia selalu
ada bersama kita. Bersama curahan kasih yang tak pernah ada hentinya?" Farhan menyeka air mataku dengan jemarinya. Kubiarkan
sebagai tanda terimakasih. Mengapa aku tak menyadarinyadari dulu? Mengapa mata hatiku buta? Berilah setitik cahaya terang.
Ya.., Allah! Mengapa harus Farhan yang ada bersamaku disaat aku kesulitan seperti ini? Mengapa bukan Ary? Apakah dia tengah
sibuk dengan syutingnya hingga tak sempat menjemputku? Ataukah, sibuk dengan
jumpa persnya? Ataukah pula, karena ibunya telah tau rencana kami sehingga tak mengijinkannya keluar rumah? Ary bukan tipe
seperti itu. Juga tidak mungkin, karena gadis lain dia melupakanku begitu saja.
Gerimis mengguyur kota Jakarta, sejak tiga hari aku tinggal disini. Kuhabiskan sisa waktuku di rumah Bu Wuri. Sesekali
kulewatkan canda tawa bersamanya. Wanita baya itu tau bagaimana menghibur hatiku. Farhan juga tak pernah absen mengunjungiku.
Sekedar ngobrol guna melelehkan dan menghangatkan suasana hatiku. Tapi hari ini, sampai senja hampir lenyap dia tak datang
kepadaku. Aku mulai memikirkannya. Dua pria membuat pikiranku tak jenak akir-akir
ini.
*&*&*&
"Tumben sesore
ini baru datang. Darimana ajah, Far?" Tanyaku tanpa basa basi.
“Bagaimana keadaanmu?” tanyanya dengan suara
lesu.
“Aku baru saja
memfacial wajah Bu Wury.” jawabku jujur.
"Kuantar kau ke rumah sakit." katanya dengan tiba-tiba.
Wajahnya tampak murung. Akirnya luluh juga dia. Pikirku dalam hati.
"Jadi kau mau mengantarku untuk aborsi?" kataku dengan mata penuh binar. Dalam hati aku berteriak girang. Tapi, kuamati
pandangan mata Farhan aneh sekali. Tak seperti biasanya. Kucoba bertanya dengan
pelan.
"Far, kau knapa sih?" diam tak ada jawaban, "Farhan..," dia masih membisu, menatapku dengan kosong, "Farhan..., Far...,
kau kenapa?" seruku seraya menepuk-nepuk pipinya secara bergantian. “Ikut
aku, atau kau akan menyesal seumur hidup.” Katanya dingin. Akhirnya aku pun menurut saja ketika dia menggandengku ke
luar rumah.
Kami meluncur ke sebuah rumah sakit di Jakarta Pusat.
Kami saling membisu. Bibir kami bagai terkunci. Dalam hatiku dipenuhi gejolak yang saling tarik-menarik. Aborsi tidak.
Aborsi tidak. Haruskah kubunuh anakku sendiri? Ibuku tak pernah menjahatiku, mengapa aku harus menjahati anakku sendiri? Serigala
dan harimau saja tak bakal menikam anaknya sendiri. Mereka adalah binatang. Sedangkan aku? Aku dibekali pikiran dan akal sehat.
Haruskah aku menjerumuskan diriku kepada kehinaan yang tak lebih baik daripada binatang? Ya.. Allah, berilah petunjuk atas
pergumulan hati ini.
"Far, kita kembali ke Bu Wury saja." kataku ketika kami
mulai menginjak halaman rumah sakit. Wajahku mulai pucat pasi. Farhan tak memperdulikan diriku. Aku mencoba bertahan untuk
tak berjalan. "Far, aku berjanji akan melahirkan anak ini." Farhan terus menyeret langkahku menyusuri koridor rumah sakit.
Aku mulai gugup, peluh berjatuhan karena rasa takut yang menyerangku. "aku tak akan pernah aborsi! Far... , dengar kataku.
Aku berjanji." Farhan acuh tak acuh denganku. Aku kebingungan dengan sikapnya. Kemarin, dia melarangku aborsi. Tapi sekarang
dia seperti kerasukan syetan. "berhenti, Far. Berhenti." teriakku histeris. "aku ingin pulang."
Langkah kami terhenti. Tepat di sebuah ruangan yang tertulis
Vip A32. Sepertinya bukan ruangan untuk aborsi. Tertulis Gawat darurat di pintu masuknya. Seorang suster mempersilahkan kami
masuk. Aku menarik nafas lega. Farhan tak membawaku untuk aborsi. Apa yang akan dilakukannya diruangan ini? Apakah ada saudaranya
yang kecelakaan? Tanyaku dalam hati. Kulihat ada sosok terbaring dengan perban di sana-sini. Di sebelahnya tergantung tranfusi
darah. Farhan melangkah mendekatinya. Aku pun mengikutinya dari belakang. Farhan terpaku di tempatnya. Seperti patung hidup.
Kucoba mendekat lagi agar terlihat jelas.
Aku terduduk
lemas di sisi pembaringan. Benarkah dia Ary? Mengapa Kau pertemukan aku dan dia dalam keadaan seperti ini? Ya... Robb....,
ada apa di balik ini semua?
"Ary..., bangun,
Sayang. Ini aku, Salsa. Buah hati kita juga ada bersamaku. Bersama kita." kuraih jari-jemarinya. Kuletakkan tepat di perutku,
"rasakan getar candanya di dalam sana, Sayang." air mataku tumpah tanpa bisa kutahan. Hatiku bagai teriris-iris sembilu.
Samar-samar kulihat tubuh Ary mulai bergerak. Matanya mulai terbuka. Kusentuh lembut jemari
tangannya. Ada setitik airmata jatuh ke pipinya. Kuseka dengan tanganku. Baru pertama kali ini aku melihatnya menangis.
"Maafkan aku, Salsa." katanya dengan suara lirih. Kukecup perlahan keningnya sebagai jawaban.
Kuberikan semangat untuk berjuang melawan maut. Tapi tak berapa lama mata itu terpejam lagi. Kulit tubuhnya mulai terasa dingin
seperti es. Aku panik. Aku menangis histeris. Kupeluk tubuh yang akirnya tanpa nyawa. Setelahnya aku hanya bisa mematung di
tempatku. Suster menutupkan kain putih di wajah kekasihku. Jiwaku yang telah retak jangan Kau jadikan serpihan-serpihan, ya
Allah.
Ternyata, tanpa sepengetahuanku Farhan nekad mengunjungi alamat Ary. Dia mendapatkan alamat itu dari buku agenda yang
lupa kutaruh di meja tamu. *&*&*&
Di luar
jendela kamar, seorang wanita tua baya memandang kami penuh haru. Dia adalah calon nenek dari anak yang sedang kukandung.
Beri Aku Kamboja
By Wina Karnie
Langit semakin mendung, menggelap, hitam, pekat berarak.
Awan bergumpal-gumpal membentuk petak-petak kelabu. Di bawah langit mendung itulah, laki-laki bertubuh kurus, dengan rambut
gondrongnya, terhempas, terjerembab pada cakrawala merah saga. Ditemani seorang wanita tua, Ia berjuang menghadang kegetiran.
Pohon kamboja sedang bermekaran di belakang rumah. Aroma wanginya menusuk-nusuk ulu hati. Dalam. Sangat. Hingga berdarah.
"Kemana kau, Gak?" Nada suara Mbok Minah menginterograsi.
Gagak tak mengacuhkan pertanyaan Simboknya. Ia melanjutkan pekerjaannya, memasukkan beberapa stel pakaian dan celana dalam,
juga kaos kaki ke dalam tasnya.
"Kemana? Ditanya wong tuwo ra semaur. Kuwalat
nanti kamu!" Mbok Minah mulai agak kesal karena sepatah pertanyaannya, tak digubris oleh anak semata wayangnya. Padahal Mbok
Minah bukanlah seorang simbok yang cerewet. "Wes budeg, to, Le?"
"Ah, simbok. Aku mireng," sahut Gagak dengan
malas-malasan. "Aku mau ke Gunung Lawu."
"Sama siapa? Apa dengan perempuan itu lagi?"
"Iya."
"Hati-hati, anak orang kamu bawa kemana-mana, jaga
yang baik, jangan sampai di LKMD." (Lamar Keri Meteng Disik)
"Ah, Simbok. Wajar, to. Kalau aku anak orang
dan juga anak orang yang kubawa. Kalaupun LKMD, yang lahir, kan, manusia juga. Bukan celeng?"
"Geblek kamu itu, Gak. Podho persis bapakmu."
"Wajar, kan, Mbok? Berarti Gagak ini, anake bapak Parto,
tenan. Artinya Simbok enggak selingkuh."
"Wes, ah. Dari tadi wajar, wajar. Bisa kurang ajar
kamu nanti. Gek ndang budal kono. Ingat lo, Gak. Kamu itu anak orang gak duwe." Mbok Minah kembali masuk ke
dapur dan membereskan piring-piring kotor, sisa makan pagi tadi. Gagak dengan rangsel besar di pundaknya, melesat keluar rumah
dengan sepeda motor buntutnya.
Matahari bergeser seperempat dari terbitnya. Peluh
mulai berlelehan dari celah pori-porinya, kulitnya yang coklat legam karena sering terbakar matahari itu, memberikan kesan
keperkasaannya. Suara motornya meraung-raung membelah jalanan, meninggalkan asap berwarna abu-abu. Kota Pakesaji, telah tertinggal
sejauh dua km. Sepeda motornya meluncur bagai busur anak panah, melesat cepat menuju Desa Argosari.
"Sudah lama, Nduk?" Sebutan untuk seorang gadis
yang selalu mengisi mimpi-mimpi Gagak. Ia seorang gadis piatu, bapaknya orang ternama di kampungnya. Karena kepiatuannya itulah,
Gagak suka memangilnya dengan sebutan Nduk. Di telinga gadis itu terasa lebih dekat dan bukan bentuk rayuan gombal.
Satu hal yang pasti, gadis itu memerlukannya. Senyumnya merekah ketika tahu Gagak tiba dengan peluh bercucuran.
"O. Mas Gagak. Baru seperempatan jam." Tatapan mata
gadis berkulit sawo matang itu penuh binar-binar kebahagian. Mereka sudah lama tak bertemu. Padahal rumah mereka hanya berjarak
dua kilo meter. Kisah-kasih meraka seperti jaman Siti Nurbaya. Orang tua gadis itu tak bersimpati terhadap Gagak. Kasta masih
terasa kental dalam kultur dan kehidupan sosial mereka. Gadis itu bernama Ranum. Bibir mungil dan hidung mbangir yang melekat
di wajahnya, menambah sempurna kecantikannya. Terutama di mata Gagak Prakoso. Keduanya hanya berselisih usia tiga tahun. Bila
usia gagak saat itu baru menginjak 22 tahun, maka gadis itu baru saja merayakan ulang tahunnya yang ke sembilan belas.
Tatapan mata Gagak seakan hendak menelanjangi Ranum.
Gadis itu tertunduk dengan wajah memerah. Kerinduan Gagak pada Sang Bidadarinya meluap-luap. Gagak ingin sekali menyentuh
pipi merah delima milik Ranum, tapi tak ada keberanian untuk itu. Gagak takut Ranum akan marah lalu membencinya seumur hidup.
Seperti yang pernah dilakukan oleh Ranum pada teman sedesanya. Pardi. Jejaka itu pernah digampar dua kali oleh Ranum karena
mencoba kurang ajar dengannya. Ranum adalah primadona di kampus, juga kembang desa di kampungnya. Kampung tetangga Gagak.
"Mana teman yang lainnya, Nduk? Gagak berusaha
mengatasi perasaannya.
"O. Mereka sedang membeli air, Mas Gagak. Nah, itu
lihat! Mereka sedang berjalan kearah kita." Gagak mengangguk-angguk, lalu menyambut teman-teman sekempingnya. Ada Herman,
Firdaus, Tiwi, Ida, dan juga Rahman. Mereka menenteng belanjaan dari supermarket. Gagak melarik sepeda motornya ke penginapan
langganannya.
"Mobilmu di parkir di mana, Her?" tanya Gagak sembari
meneliti jalanan yang memungkinkan untuk parkir mobil. Herman menunjuk pada sebuah pohon flamboyan, seratus meter dari tempat
mereka berkumpul. "Kalian ke Mobil dulu, nanti aku menyusul," seru Gagak keras-keras.
"Cepetan, Gak. Enggak ada acara ngopi dulu, lo?" seru
Ida tak mau kalah. Kalau sampai ngopi segala, Gagak bisa berjam-jam. Itu suatu pemborosan waktu. Setelah mengacungkan jempol
ibu jarinya Gagak meninggalkan mereka ke tempat penginapan sepeda motor.
"Num, pipimu bersimbah keringat, tuh. Ayo kulap
sini," tawar Herman dengan suara manis. Herman bukan saja mempunyai suara manis, tapi juga merdu dan mendayu-dayu. Setiap
hari senin sampai kamis, dia mengisi acara puisi dan lagu di Radio FM Malang. Wajahnya juga tak jelek-jelek amat. Banyak gadis-gadis
remaja ngefans berat dengan suara merdunya. Setiap hari ada saja yang mengiriminya sms dan menawarkan sekuntum bunga merah
jambu. Herman menanggapinya dengan santai. Demikianpun saat di gelar jumpa fans, semua gadis yang ngefans dengannya berteriak-teriak
histeris. Namanya dielu-elukan oleh mereka. Ada juga yang mengatakan; rindunya sampai ke ubun-ubun karena mereka belum bertemu,
para fansnya hanya bergelut dengan bayangan Herman. Tapi Herman tetap cuek.
"Terimakasih, Her. Aku bisa mengelapnya sendiri." Dengan
sangat manis Ranum menolak. Herman agak kecewa. Tapi dia berusaha untuk menyingkirkan perasaannya. Gagak datang dengan setengah
berlari. Nafasnya ngos-ngosan seperti baru mengikuti perlombaan maraton.
"Alah, Gak. Takut amat kami tinggal. Kita-kita pasti
menunggumu, kok. Apa artinya tanpa Gagak. Ya, enggak, teman-teman?" Firdaus sangat bersemangat. Nada suaranya sangat pantas
menjadi pimpinan provokator. Di kampus dia juga getol mengikuti demontrasi. Semua serempak mengangguk, kecuali Herman yang
kelihatan agak terpaksa melakukannya. Dalam benak Herman, ia lebih merasa senang bila Gagak tak turut serta dalam kemping
kali ini, karena tanpa gagak waktu untuk mengambil simpati Ranum lebih terbuka lebar dan leluasa. Mereka tahu, antara Gagak
dan Ranum saling memiliki perasaan khusus, dan mereka juga tanggap bahwa Herman juga menyimpan perasaan itu kepada Ranum.
Bisa-bisa terwujudlah cinta segitiga. Tapi dari sikap-sikap yang ditunjukkan oleh Ranum, sangat jelas kalau gadis itu lebih
merasa nyaman bersama Gagak. Gagak duduk tepat di sebelah Ranum. Tanpa diminta tangan Ranum telah menyodorkan sehelai tisyu
ke tangan Gagak. Gagak menerimanya dengan agak rikuh. Semua mata memperhatikannya, termasuk Herman.
Rombongan Gagak berhenti di Cemara Sewu. Mereka menitipkan
mobil pada salah satu penitipan di sekitar tempat itu.
Siang mulai beralih ke petang. Warna merah saga menyebar
dari ufuk barat. Warna kuning keemasan itu, perlahan-lahan terbenam ke bebukitan dan pegunungan. Rembulan bersinar penuh menggantikannya.
Gagak menengadahkan wajahnya. Mereka sudah sampai di puncak ketika purnama bersinar sempurna di kolong langit. Bias lembutnya
menembangkan lagu-lagu anak negeri. Rombongan Gagak mulai mendirikan tenda. Sesuai kesepakatan, tenda perempuan harus dijaga
oleh satu cowok. Setiap cowok mendapatkan giliran sebagai petugas.
Udara dingin mulai meyelimuti dua tenda yang berjejer
diatas rerumputan hijau. Tiwi mendekati Herman yang sedang membongkar isi rangselnya.
"Nyari apa? Tanya Tiwi ingin membantu. Herman tersenyum
sebentar lalu mengalihkan pandangannya lagi ke dalam rangselnya.
"Aku sedang mencari korek api."
"Aku tanyakan Gagak aja, dia pasti punya."
"Gagak, Gagak, selalu Gagak! Kenapa sih?"
"Ditanya baik-baik, malah melotot gitu to, Her. Ya
sudah aku gabung dengan yang lain saja." Tiwi teman sekampus Herman, yang diam-diam menaruh perhatian kepadanya itu, dengan
perasaan kesal meninggalkannya. Dia ingin sekali ditawari oleh Herman, misalnya; Tiwi kamu dingin enggak? Tiwi, kamu mau bantu
aku nyari korek api? Atau; Tiwi, kamu mau enggak nemenin aku di sini? Apalagi jika Herman berkata; Tiwi, kamu mau engga jadi
kekasihku? Batin Tiwi memberontak hebat, karena tawaran-tawaran seperti itu bukan ditujukan Herman padanya. Tapi pada gadis
bernama Ranum Priaty. Teman seangkatannya di kedokteran. Tiwi tak jadi pergi meninggalkan Herman. Dia kembali jongkok di sebelahnya.
"Ayolah, Her. Kita gabung sama yang lain. Sepertinya
mereka sedang bakar-bakar jagung dan ikan segar." Herman telah menemukan korek apinya, lalu segera diraihnya sebatang rokok
dan disulutnya dengan korek api yang baru saja ditemukannya. Ternyata benda itu terselip diantara baju-bajunya. Asap rokok
mengepul dari kedua celah hidungnya dan dihembuskannya pula dari bibir kebiru-biruannya. Tiwi menghindar kesamping kanan,
ketika asap itu menggelembung memburu tempatnya.
"Pergilah, aku lagi ingin sendiri."
"Aku ingin menemanimu."
"Pergilah!"
"Her, Ranum itu miliknya Gagak. Kamu tak mungkin merebutnya
dari Gagak, kan? Ingat, kalian berteman baik."
"Tutup mulutmu, dan pergi."
"Keras kepala!" umpat Tiwi dengan marah dan kesal.
Gadis itu sangat kecewa dengan perlakuan Herman. Sudah
lama ia memendam perasaan. Ia ingin sekali menyatakan cintanya kepada Herman di saat-saat romantis seperti sekarang. Tapi
sikap Herman yang begitu dingin, membuatnya harus mundur teratur. Diam-diam dia juga kesal dengan Ranum. Kalau saja gadis
itu tak pernah terlahir ke dunia, tentu Herman tak akan jatuh hati padanya. Herman pasti akan lebih memperhatikan dirinya.
Tapi Ia tak menemukan jawabannya.
Hari pertama dilewatkan mereka dengan penuh suka duka.
Obrolan pun terasa sangat menarik, mengenai lingkup kuliah mereka. Ranum dan Tiwi, sang calon dokter, Gagak dan Firdaus sang
jurnalistik, Rahman dan Herman, sang penyair ternama. Ida sang cerpenis terkenal. Selain masalah tulisan, mereka juga berdiskusi
tentang kesehatan. Dalam hal ini Ranum dan Tiwi sang jago debatnya. Gagak sedang mencari inspirasi. Orang bilang ketenangan
suasana dapat memunculkan ide-ide dan gagasan dalam menulis. Ini sangat bermanfaat juga untuk Ida yang suka menulis cerpen.
Gagak mendapatkan tugas pertama menjaga tenda cewek.
Ia menikmati pias wajah rembulan. Awan-awan putih itu terkesan nakal, menutupi cantiknya purnama malam itu. Suara binatang
malam menambah kesepurnaannya.
"Kamu tidak tidur, Mas Gagak?" Gagak tersentak kaget.
Dikiranya suara peri di pegunungan.
"Belum, Nduk. Aku enggak bisa bobok. Duduklah
di sebelahku jika kamu enggak ngantuk."
"Hem," Ranum bergumam lirih. Gagak hampir tak dapat
mendengarkannya.
"Kamu kok dapat ijin empat hari keluar rumah, Nduk?
Ebesmu enggak akan marah jika beliau tahu kamu pergi denganku?"
"Tapi kan, tidak berduaan?"
"Tapi kesempatan berduaan, kan, selalu ada?"
Ranum mengangguk. Wajahnya semakin cantik terkena kilauan
cahaya purnama. Bibir mungilnya merah merekah, mengundang keinginan Gagak untuk menyentuhnya. Gagak ingin sekali mencium Ranum.
Walaupun hanya sebatas pipi. Tapi tak ada alasan untuk itu. Gagak menelan keinginannya. Dia ingat pesan simboknya, hati-hati
dengan anak orang. Meskipun Gagak tahu bahwa Ranum juga memiliki perasaan yang sama, seperti yang sedang dirasakannya saat
ini, tapi Gagak sadar bahwa dirinya sangat tidak disukai oleh bapaknya Ranum. Mbok Minah hanyalah seorang petani biasa. Selain
mengandalkan hasil panen yang tak seberapa, Mbok Minah bekerja sampingan dengan berjualan minyak tanah di kios depan rumahnya.
Gagak membantunya bila tidak sedang kuliah, lumayan bisa untuk membiayai kuliahnya. Mbok Minah sudah menjanda sejak Gagak
berusia lima tahun. Suaminya kecelakaan saat melakukan pengeboran pertambangan minyak.
"Kamu sendiri bagaimana? Mbok Minah enggak kamu bantu
berjualan?"
"O…, stok minyak sudah aku penuhi, malah bisa
untuk takaran seminggu. Kecuali listrik mati selama aku tak di sana, jadi kebutuhan minyak tanah pasti akan melonjak. Sawah
juga sudah selesai di garap, kok. Tinggal menunggu musim panen." Gagak menghembuskan rokoknya ke udara bebas. Seperti ada
sesuatu sedang dipikirkannya.
"Duduklah di sebelahku. Jangan mematung begitu," ucap
Gagak kalem. Ranum segera mengambil posisi di disampingnya.
"Purnama itu sangat indah." Ranum bergumam lirih. Suaranya
hanya terdengar oleh Gagak dan dirinya sendiri. Malam telah mendekati bibir subuh. Semalaman mereka tak tidur. Ranum gelisah
di dalam tendanya. Gagak memang sengaja tak tidur. Menjaga ketiga bidadari cantik dalam tenda. Salah satunya melesat keluar
dan duduk manis di sampingnya saat ini.
"Iya, Num. Kamu tahu di penanggalan jawa tanggal berapa?"
Ranum menggeleng. Gagak mendelikkan matanya, tak percaya kalau Ranum tak mengenali penanggalan jawa.
"Aku memang terlahir sebagai orang jawa tulen, tapi
Mas Gagak kan tahu, kalau aku tidak percaya dengan mitos."
"Ya. Kamu mau aku kasih tahu?"
Ranum mengangguk pelan. Gagak mendekatkan bibirnya
ke telinga kiri Ranum.
"Lima belas," ujarnya lirih. Kesempatan itu juga tak
dilewatkannya begitu saja. Dengan cekatan bibirnya telah mencium pipi Ranum. Pipinya yang keemasan karena terpaan sinar purnama
berubah merah. Malu. Gagak meminta maaf kemudian. Detik berikutnya gadis itu berdiri dan melesat masuk ke dalam tenda. Gagak
masih terbengong di tempatnya. Dipikirnya Ranum tadi berdiri, lalu menamparnya, seperti yang dilakukannya kepada temannya
dulu. Apakah Ranum menyukai ciumanku? Ah, gila. Batin Gagak tak mengerti. Gagak berharap, mudah-mudahan Ranum memang
menyukainya. Setidaknya tak akan memarahinya. Di dalam tenda, ranum meringkuk di sebelah Ida. Kedua temannya pulas dalam mimpi.
Dia raba pipi kirinya, masih basah oleh ciuman Gagak. Sentuhan bibir Gagak masih segar terasa menghangati pipinya.
Dua hari di puncak Lawu menambah keakraban dengan cepat,
mereka berbagi tawa dan canda, serta melepas penat. Ranum sangat menyukai tanaman, karenanya tanaman yang sekiranya bisa di
rawat di pekarangan rumahnya dikoleksinya dengan bantuan Gagak. Melihat hobby Ranum mengoleksi tanaman, Herman pun tak menyia-nyiakan
kesempatan emas itu. Diam-diam dikumpulkannya pula tanaman bunga. Ranum menerimanya dengan suka cita. Tiwi menghela nafas
dalam, dadanya sesak.
"Num, mau aku bantu menambah koleksi bungamu?" Tanya
Tiwi tulus.
"Apa, yah? Sepertinya sudah banyak, Tiwi. Kamboja aja
kali yang belum ada." Ranum tertawa lebar, menertawakan kedunguannya, mana ada kamboja di pegunungan Lawu ini. Tiwi mengimbanginya
dengan tersenyum mekar.
"Aku sepertinya melihat ada pohon kamboja di ujung
selatan, dekat tikungan sana. Kalau mau kita bisa ke sana? Gimana?"
"Udah senja, Tiwi. Esok ajalah, biar Gagak atau Herman
yang bantuin kita metikkannya."
"Kan asik, kalau kamboja itu kita selipkan di telinga
kita untuk pesta terakhir di puncak lawu, malam nanti? Esok siang kita harus pergi, kan?"
"Benar juga, kita buat kejutan untuk mereka. Aku akan
mengenakan kalung bunga kamboja. Kamu gimana, Tiwi?"
"Aku akan merangkainya menjadi kalung dan mengenakannya
di kepala, pasti akan memesona. Ayo, kita ke sana." Keduanya berjalan beriringan penuh bahagia. Mereka berharap Gagak, Herman,
Firdaus, Rahman, pasti akan takjub menyaksikan mereka kelihatan makin cantik dan memesona dengan kalung kamboja.
Tiwi mulai memetiki bunga-bunga itu dengan sangat hati-hati.
Karena bila ia lengah, tubuhnya bisa saja tergelincir ke dalam tepian jurang. Ranum sesekali mengingatkannya supaya selalu
berhati-hati.
"Tiba giliranmu, Num. Kamu bisa mendapatkan kamboja
itu sepuasmu."
"Tapi, Wi. Aku ngeri memanjat pohon itu. Lihatlah,
di sampingnya ada jurang yang sangat terjal. Aku takut ketinggian." Ranum dihinggapi rasa cemas, tatkala mencermati lokasi
pohon kamboja yang sedang berbunga indah itu. "Tiwi, boleh aku memintanya separo?"
"Meminta? Bunga yang kupetik dengan susah payah ini?"
Kok enak tenan?" jawab Tiwi tak suka. "Petik sendiri, ah!" kata Tiwi pedas. Ranum menatap nanar bunga-bunga kamboja. Ia menahan
ludah ketika melihat bakul Tiwi yang telah penuh dengan kamboja.
Tertantang oleh kata-kata Tiwi, tanpa pikir panjang
Ranum mulai memanjat pohon kamboja itu. Sangat hati-hati. Tangan kanannya berpegangan pada batang pohon, kedua kakinya mengapit
batang yang agak besar, dan tangan kirinya berusaha meraih bunga-bunga yang terlihat sangat menggoda. Satu bunga cantik berhasil
dipetiknya dengan manis, lalu kedua, ketiga, keempat, dan beberapa bunga berhasil diperolehnya dengan perjuangan yang maha
dahsat. Bagaimana tidak, Ranum gadis yang pernah trauma karena terjatuh dari pohon jambu mente, ketika masih kecil,
tiba-tiba mempunyai semangat berlipat-lipat. Dia berpikir Gagak pasti akan mengagumi keanggunannya malam nanti, dengan kamboja
melingkari lehernya yang jenjang.
"Tiwi, kukira cukup."
"Turunlah, dan hati-hati!" Tiwi mengingatkan Ranum
supaya jangan sampai terpeleset. Ranum yang terbuai dengan bunga-bunga kambojanya, tak sadar dengan sesuatu yang terjadi pada
dirinya. Sehingga tanpa disangka oleh Tiwi atau Ranum sendiri, tubuh Ranum oleng, kakinya salah menjejekkan cabang pohon.
Kini hanya tangan Ranum mampu bergelantung di cabang pohon kamboja.
"Num, jangan pikirkan bunga-bunga itu, pikirkan keselamatanmu.
Lepaskan bakulmu. Pegangan kuat-kuat pada cabang itu." Tiwi mulai panik. Ia ingin menjulurkan tangannya guna membantu Ranum,
tapi ia juga kawatir tubuhnya turut terseret jatuh kebawah sana. Dalam kepanikan itu sebuah suara membisikinya. Andai Ranum
tak terlahir ke dunia ini, kamu akan mendapatkan Herman. Tiwi berusaha mengahalau suara-suara tak di unang itu. Tapi gema
suara itu begitu kuat memenuhi rongga pikirannya. Tiwi tak sempat melihat nilai sebuah persahabatan lagi. Ini adalah moment
yang sangat bagus. Sebuah kesempatan untuk mengenyahkan Ranum dari hadapan gagak, tanpa sentuhan tangannya. Ya.
Tiwi yang semula telah mengulurkan tangannya guna menarik
tubuh Ranum, tiba-tiba benar-benar menarik tangannya kembali, tanpa menyentuh Ranum sekalipun. Suara Ranum melengking membelah
pegunungan. Sebaliknya, bibir Tiwi menyungging senyum kemenangan.
Gagak, dengan mata nanar, dalam keterpakuannya, seakan
melihat Ranum menyatu dengan pohon kamboja di belakang rumahnya. Sejak kepergian Ranum lima tahun yang lalu, ia selalu menunggu
pohon kamboja itu bermekaran, lalu menyuntingkannya untuk Ranum. Air matanya masih sama. Deras mengalir. Tidak hanya untuk
saat ini, esok, ataupun lusa. Semuanya! Derai air mata dan wangi kamboja itu telah menjadi milik Ranum. Abadi. Selamanya!
Hongkong, 19-21 juli 2005
|
|
|
|
|
|