Perempuan dalam Beton
By Winna Karni
Bibir perempuan itu terkatub.
Hanya isak tangisnya yang terdengar jelas. Hampir setengah jam aku menbujuknya supaya bersuara. Namun yang tampak di depanku hanya seraut mata yang sembab dan wajah yang
muram. Kuhempaskan nafasku ke angkasa, seakan kekesalan kualihkan pada benda tak berwujud, berbentuk oksigen itu.
“Bicaralah,
Tika!” bujukku untuk yang kesekian kalinya. Perempuan itu masih menelenjangi tanah bertekel. Lantai di Victoria Park
hampir semuanya bersemen, kecuali lapangan rumput yang dibiarkan menghijau alami. “Mana Wai Lik?” kenapa tidak
bersamamu? Sekarang, sekolah, kan, lagi liburan panjang?” kataku mengalihkan pecakapan. Siapa
tahu wajah itu sedikit berubah cerah dengan mengingat anak laki-lakinya. Tapi yang kudapati adalah sebaliknya, isak itu semakin mengencang, bersaingan dengan suara mesin pengebor di tepian jalan raya. Aku masih bertahan
dengan posisiku. Kugenggam tangannya. Kurengkuh pundaknya. Jika ada mata yang melihat, aku yakin mereka pasti mengira kami
sepasang lesbian. Mata itu mendongak akhirnya, menatap langit yang demikian cerah.
“Lis, aku cemburu dengan
hamparan langit cerah itu. Aku.., aku bertengkar hebat dengan suamiku.”
“Kamu minggat lagi?”
Perempuan itu mengangguk. Aku tak terkejut dengan pengaduan seperti itu, karena sudah berpuluh kali, bahkan entah berapa kali
jika ia bertengkar dengan suaminya, selalu diakhiri dengan aksi minggatnya.
“Aku tak pernah menyaksikan tangismu sebelum ini? Mengapa harus
membuang air mata percuma?” setahuku perempuan berusia dua tahun lebih muda dariku ini, selalu tegar menghadapi biduk
rumah tangganya. Pernah dulu ketika ia bermasalah dan kupaksa menangis, tapi ia justru mengumbar tawanya.
“Dia memukulku lagi!
Bukan itu saja, dia mengancam hendak membunuhku. Dia hanya ingin anak, tidak menginginkanku. Aku sangat ketakutan. Aku pergi
begitu saja.”
“Anakmu?”
“Kutinggal.”
“Jisin, kamu!”
kataku dengan suara tinggi. Aku sangat sayang pada anak itu. Sejak kecil dia telah kenyang dengan pertengkaran-pertengkaran
orang tuanya. Perempuan di hadapanku ini.
Ah, aku geram juga karena ketololannya, entah apa yang ada di benaknya.
“Suamimu becus menjaganya?”
tanyaku dengan nada marah. Aku tahu betul suaminya bukan tipe penyabar.
“Dimana kamu tinggal
sekarang?”
“Di penampungan orang-orang
bermasalah, di bagian kota Central.” Aku baru mendengar tempat itu pertama
kali. Isakan perempuan itu sedikit mereda. Kulirik jemarinya, ia sedang mempermainkan
ujung rambutnya. Yang lebih membuatku terkejut, hampir sebulan dia meninggalkan anak dan suaminya. Kondisi anaknya itu yang
sangat kukhawatirkan. Bagaimana jika dia rewel malah pukulan dan bentakan yang didapatkannya?
Aku mengenal perempuan ini
sejak 8 tahun yang lalu. Yang membuat kami dekat hanyalah asal-usul. Aku dan dia sama-sama satu kecamatan. Ya, aku ingat betul
8 tahun yang lalu. Siang hari itu, ia dengan suara tergopoh-gopoh, menghubungi nomor telponku.
“Aku di bandara, hari
ini di interminite dan langsung di pulangkan.” Suaranya tersedu sedan. Aku turut panik kala itu, dia memberitahuku bahwa tidak akan pulang ke Indonesia. Setengah jam kemudian dia telah meloloskan diri dari
bandara.
“Kamu tahu resikonya
overstay?” ia diam tak bersuara. “Jika tidak dideportase, kamu akan dipenjarakan. Mumpung ada tiket lebih baik
kamu pulang saja, Tik.” Perempuan itu tak merespon anjuranku. Nasehatku hanya di anggap angin lalu.
“Lis, kamu tahu adik-adikku
banyak, kan? Mereka membutuhkan biaya untuk sekolah. Aku baru satu tahun di sini, dengan potongan 7 bulan gaji, kamu bisa
menghitung sendiri pendapatan yang kuperoleh, kan?” benar katanya. Aku tak berkutik.
“Bagaimana ceritanya
sampai diinterminite?” sejenak hening. Hanya desahan nafasnya terdengar jelas di ujung pesawat telpon. Nasib Tika memang
tak semujur yang lainnya, termasuk diriku.
“Kamu ingat kan, Lis?
Waktu aku pernah di ajak ke rumah Peter Wong?”
“Ya, kenapa? Kamu tak
bercerita lebih ketika itu. Katamu akan diperkenalkan pada kedua orang tuanya.”
“Keduanya tidak ada ketika itu, dan nafsu telah menghantarku pada perzinahan. Sejak saat itu aku tak bisa lepas
dari Peter. Aku kecanduan asmaranya, dan….”
“Dan majikanmu tahu,
kamu diinterminite?”
“Hem..”
“Karena Peter kamu bertahan
di Hongkong?”
“Hem…,”
Aku menghela nafas dalam. Ada
saja warna kehidupan ini.
“Dia akan menikahiku.”
Suaranya mantab dan penuh pengharapan. Sebagai sahabat aku turut bahagia, berharap dengan menjadi Nyonya Hong Kong , status
sosialnya lebih baik di mata masyarakat yang menilai rendah profesi pramuwisma.
Hari-hari pertama menjadi nyonya
Hong Kong, dia banyak bercerita padaku. Proses pernikahan ternyata cukup rumit.
keluarga dari ibu mertuanya sangat peduli padanya, hanya saja mertua lakinya kurang menyukainya. Jika ada waktu, aku juga
sering bertandang ke sana. Namun sejak kudengar dia sering ribut dengan suaminya, aku sudah mulai menjauhinya. Padahal suaminya
sangat mempercayaiku sebagai satu-satunya sahabat baik istrinya. Lain dengan Nura atau Siska yang masih suka nglembur ke diskotik
meskipun telah berumah tangga.
“Mendingan, kamu juga
menikah dengan penduduk sini aja, Lis?” bujuknya ketika itu, mungkin apa yang dikatakan oleh Tika benar. Bosku juga
sering menyarankan aku, supaya menikah dengan orang Hong Kong. Pernah suatu saat aku dikenalkan pada stafnya. Pernah juga
aku disarankan supaya kawin palsu. Yang jelas aku bukan tipe perempuan yang suka bermain-main dengan pernikahan. Bagiku peristiwa
itu satu bagian kehidupan yang sakral.
“Nanti aja deh, lihat
dulu, apakah kamu sukses dengan pernikahanmu,” elakku halus seraya tersenyum. Sebenarnya dengan menjadi istri laki-laki
di Hong Kong, aku bisa leluasa bekerja di perusahaan tanpa takut kena razia Labour Departement. Toh, itu semua kemauan bosku.
Salah siapa aku ditempatkan bekerja di kantornya. Aku tidak akan pusing-pusing, yang penting aku bekerja dan digaji.
“Bener lo, Lis. Jika
kamu dapat independent visa, kan, lumayan, paling tidak kamu dapat bekerja dengan tenang.”
“Ah, sudahlah. Aku aman-aman
saja, kok, selama ini.”
Ya, sampai tahun ke sepuluh
keberadaanku di sini, aku cukup mendapatkan perlindungan dari-Nya. Dan bagiku itu sudah lebih dari cukup. Pernah satu kali,
aku hampir terpeleset, tapi
akhirnya aku pun mampu bangkit. Otakku cukup encer untuk menolak
tuduhan sebagai pekerja illegal.
Hari-hari perempuan di depanku
itu tak ubahnya bagai di penjara. Kebaikan suaminya hanya bertahan beberapa bulan. Karena ketika sahabatku itu baru mengandung
tiga bulan, aku mulai mendengar keluhan sahabatku. Padahal seharusnya sahabatku itu lebih banyak diperhatikan, bukan di sia-siakan.
“Dia laki-laki kasar.
Aku sering di bentak dan di makinya.”
“Kenapa tidak minta cerai
saja?”
“Rugi jika aku cerai,
bagaimanapun aku akan bertahan 7 tahun menjadi istrinya.”
“Hanya untuk mendapatkan
visa independent itu?”
“Ya!”
jawabnya mantab. Aku tak habis mengerti jalan pikirannya. Jika aku yang menjadi dia, jangankan menikah, lebih baik aku kehilangan
kegadisanku daripada terperangkap dalam momok yang lebih dalam.
“Ok. Jika ini jalan yang kaupilih, kamu harus konsekuen.” Kataku menegarkan
hatinya. Padahal ia memang seorang perempuan yang tegar. Betah hidup dengan suami pemabuk, pengangguran, dan pengidap ganja.
Duh, jika aku yang berposisi di situ, aku mungkin sudah mati sekarat karena ulahnya. Aku bahkan sempat terperanjat, ketika
Wai Lik kecil mengumpatku dengan kata-kata kotor. Jika bukan karena sering mendengar dari kedua orang tuanya, dari siapa lagi?
Aku
mulai jenuh setiap kali mendengar percekcokan keduanya, jika tidak masalah perempuan, pasti masalah duit. Aku sangat muak
dengan suami seperti itu. Dalam penganggurannya, masih sempat-sempatnya meminta duit sahabatku, alasannya uang yang dimintanya
itu adalah jatahnya juga.
“Tik,kamu bersikaplah
tegas!”
“Jika itu kulakukan tangannya
yang menegasiku, dengan tamparan, jika tidak, ya, dengan cacian yang sangat memerahkan telinga.”
“Sampai kapan kamu betah
diperlakukan seperti itu?”
“Sampai 7 tahun menjadi
istrinya!”
“Mestinya dia tahu kalau
uang itu subsidi dari pemerintah untuk kebutuhanmu dan Wai Lik.”
“Dia tahu, tapi tidak
mau tahu.”
“Hidup terpenjara begitu, apa enaknya? Aku yang lebih sakit hati
kamu diperlakukan seperti itu!” Perempuan itu hanya membalasku dengan ulasan senyum getir, tergurat di sudut bibirnya.
Angin senja di Victoria Park menerbangkan daun-daun kering. Musim Gugur hampir tiba. Aku masih setia menemaninya. Dia enggan pulang, tapi juga kangen dengan anaknya. Dan jika ingin pulang, ia juga tak
sanggup jika perlakuan buruk suaminya tidak berubah.
“Bercerailah saja, Tik. Bukankah usia pernikahanmu sudah genap 7 tahun?”
“Ya. Tapi aku tak akan bercerai.”
“Loh? Katamu hanya demi Visa independent itu?”
“Aku punya Wai Lik, Lis. Anak itu lebih berharga dari sekedar visa independent.”
“Apa enaknya hidup dalam beton beraroma bara api, Tik? Masih mending kamu berada dalam sangkar emas, walaupun tak mendapatkan kepuasan batin, setidaknya kamu mendapatkan limpahan harta. Atau sebaliknya
hidup apa adanya tapi kamu memperoleh ketenangan batin. La posisimu sekarang ini? Hidup serba kekurangan, batin pun tak tenang?
Ingat Tik, bisa jadi, ini sebuah peringatan dari Tuhan. ” Aku berusaha
mengingatkannya. Tapi perempuan itu tetap tak bergeming. Tika telah berkorban segalanya. Ia menikah tidak hanya dalam perbedaan
bangsa, tapi juga agama, budaya, dan kultur sosial. Aku lebih mencemaskan nasib Wai Lik nantinya. Ya, aku hanya bisa memposisikan diri sebaai sahabat, tak lebih
itu.
Perempuan di depanku menatap langit yang tertimbun
awan kelam, sepertinya hari akan hujan. Langit secerah beberapa jam lalu saja, tiba-tiba berubah sedemikian cepatnya. Mudah-mudahan
nasip perempuan itu pun secepatnya berubah menjadi lebih baik.
“Lis, aku masih punya kekuatan hidup bersamanya.” Kata-kata itu bagai petir yang melintas di gendang telingaku.
Aku tak kunjung mengerti, cinta yang bagaimanakah yang membuatnya setegar dan setabah itu.
Hongkong, 20 agusus 2005