Perceraian dan Kesiapan Mental Anak
BY AMIWAN A. SYIFAI S. A
Mama….kenapa
kita sekarang tinggal bersama Kakek dan Nenek? Papa tinggal di mana, Ma? Kasihan ya Papa tinggal sendirian, nggak sama kita
lagi. Papa pasti kesepian deh, Ma. Yuk kita tinggal bareng Papa lagi, Adek kangen... deh sama Papa
Membaca percakapan di atas, tentulah kita sudah bisa
membayangkan apa yang terjadi dalam keluarga tersebut. Apalagi kalau bukan perceraian. Angka perceraian di Indonesia mungkin
tidak setinggi di Amerika Serikat (66,6% perkawinan berakhir dengan perceraian) ataupun di Inggris (50%), tapi kita tahu bahwa
di Indonesia pun banyak perkawinan berakhir dengan perceraian, apalagi kalau melihat berita-berita tentang perceraian selebritis
Indonesia akhir-akhir ini.
Kesiapan Anak Menghadapi Perceraian
Perceraian seringkali berakhir menyakitkan bagi pihak-pihak
yang terlibat, termasuk di dalamnya adalah anak-anak. Perceraian juga dapat menimbulkan stres dan trauma untuk memulai hubungan
baru dengan lawan jenis. Menurut Holmes dan Rahe, perceraian adalah penyebab stres kedua paling tinggi, setelah kematian pasangan
hidup.
Pada umumnya orangtua yang bercerai akan lebih siap
menghadapi perceraian tersebut dibandingkan anak-anak mereka. Hal tersebut karena sebelum mereka bercerai biasanya didahului
proses berpikir dan pertimbangan yang panjang, sehingga sudah ada suatu persiapan mental dan fisik. Tidak demikian halnya
dengan anak, mereka tiba-tiba saja harus menerima keputusan yang telah dibuat oleh orangtua, tanpa sebelumnya punya ide atau
bayangan bahwa hidup mereka akan berubah. Tiba-tiba saja Papa tidak lagi pulang ke rumah atau Mama pergi dari rumah atau tiba-tiba
bersama Mama atau Papa pindah ke rumah baru. Hal yang mereka tahu sebelumnya mungkin hanyalah Mama dan Papa sering bertengkar,
bahkan mungkin ada anak yang tidak pernah melihat orangtuanya bertengkar karena orangtuanya benar-benar rapi menutupi ketegangan
antara mereka berdua agar anak-anak tidak takut.
Kadangkala, perceraian adalah satu-satunya jalan
bagi orangtua untuk dapat terus menjalani kehidupan sesuai yang mereka inginkan. Namun apapun alasannya, perceraian selalu
menimbulkan akibat buruk pada anak, meskipun dalam kasus tertentu perceraian dianggap merupakan alternatif terbaik daripada
membiarkan anak tinggal dalam keluarga dengan kehidupan pernikahan yang buruk.
Jika memang perceraian adalah satu-satunya jalan yang harus ditempuh dan
tak terhindarkan lagi, apa tindakan terbaik yang harus dilakukan oleh orangtua (Mama dan Papa) untuk mengurangi dampak negatif
perceraian tersebut bagi perkembangan mental anak-anak mereka. Dengan kata lain bagaimana orangtua menyiapkan anak agar dapat
beradaptasi dengan perubahan yang terjadi akibat perceraian.
Sebelum Berpisah
Sebelum perceraian terjadi, biasanya didahului dengan
banyak konflik dan pertengkaran. Kadang-kadang pertengkaran tersebut masih bisa ditutup-tutupi sehingga anak tidak tahu, namun
tidak jarang anak bisa melihat dan mendengar secara jelas pertengkaran tersebut. Pertengkaran orangtua, apapun alasan dan
bentuknya, akan membuat anak merasa takut. Anak tidak pernah suka melihat orangtuanya bertengkar, karena hal tersebut hanya
membuatnya merasa takut, sedih dan bingung. Kalau sudah terlalu sering melihat dan mendengar pertengkaran orangtua, anak dapat
mulai menjadi pemurung. Oleh karena itu sangat penting untuk tidak bertengkar di depan anak-anak.
Ketika Akhirnya Berpisah
Masa ketika perceraian terjadi merupakan masa yang
kritis buat anak, terutama menyangkut hubungan dengan orangtua yang tidak tinggal bersama. Berbagai perasaan berkecamuk di
dalam bathin anak-anak. Pada masa ini anak juga harus mulai beradaptasi dengan perubahan hidupnya yang baru.
Hal-hal yang biasanya dirasakan oleh anak ketika orangtuanya
bercerai adalah:
- tidak aman (insecurity),
- tidak diinginkan atau ditolak oleh orangtuanya yang pergi,
- sedih dan kesepian,
- marah,
- kehilangan,
- merasa bersalah, menyalahkan diri sendiri sebagai penyebab
orangtua bercerai.
Perasaan-perasaan tersebut di atas oleh anak dapat termanifestasi dalam
bentuk perilaku:
- suka mengamuk, menjadi kasar, dan tindakan agresif lainnya,
- menjadi pendiam, tidak lagi ceria, tidak suka bergaul,
- sulit berkonsentrasi dan tidak berminat pada tugas sekolah
sehingga prestasi di sekolah cenderung menurun,
- suka melamun, terutama mengkhayalkan orangtuanya akan bersatu
lagi.
Proses adaptasi pada umumnya membutuhkan waktu. Pada awalnya anak akan
sulit menerima kenyataan bahwa orangtuanya tidak lagi bersama. Meski banyak anak yang dapat beradaptasi dengan baik, tapi
banyak juga yang tetap bermasalah bahkan setelah bertahun-tahun terjadinya perceraian. Anak yang berhasil dalam proses adaptasi,
tidak mengalami kesulitan yang berarti ketika meneruskan kehidupannya ke masa perkembangan selanjutnya, tetapi bagi anak yang
gagal beradaptasi, maka ia akan membawa hingga dewasa perasaan ditolak, tidak berharga dan tidak dicintai. Perasaan-perasaan
ini dapat menyebabkan anak tersebut, setelah dewasa menjadi takut gagal dan takut menjalin hubungan yang dekat dengan orang
lain atau lawan jenis.
Beberapa indikator bahwa anak telah beradaptasi adalah:
- menyadari dan mengerti bahwa orangtuanya sudah tidak lagi
bersama dan tidak lagi berfantasi akan persatuan kedua orangtua,
- dapat menerima rasa kehilangan,
- tidak marah pada orangtua dan tidak menyalahkan diri sendiri,
- menjadi dirinya sendiri lagi.
Apa yang Sebaiknya Dilakukan Orangtua
Berhasil atau tidaknya seorang anak dalam beradaptasi
terhadap perubahan hidupnya ditentukan oleh daya tahan dalam dirinya sendiri, pandangannya terhadap perceraian, cara orangtua
menghadapi perceraian, pola asuh dari si orangtua tunggal dan terjalinnya hubungan baik dengan kedua orangtuanya. Bagi orangtua
yang bercerai, mungkin sulit untuk melakukan intervensi pada daya tahan anak karena hal tersebut tergantung pada pribadi masing-masing
anak, tetapi sebagai orangtua mereka dapat membantu anak untuk membuatnya memiliki pandangan yang tidak buruk tentang perceraian
yang terjadi dan tetap punya hubungan baik dengan kedua orangtuanya. Di bawah ini adalah beberapa saran yang sebaiknya dilakukan
orangtua agar anak sukses beradaptasi, jika perpisahan atau perceraian terpaksa dilakukan:
1. Begitu perceraian sudah menjadi rencana orangtua, segeralah memberi tahu anak bahwa akan terjadi perubahan dalam hidupnya,
bahwa nanti anak tidak lagi tinggal bersama Mama dan Papa, tapi hanya dengan salah satunya.
2.
Sebelum berpisah ajaklah anak
untuk melihat tempat tinggal yang baru (jika harus pindah rumah). Kalau anak akan tinggal bersama kakek dan nenek, maka kunjungan
ke kakek dan nenek mulai dipersering. Kalau ayah/ibu keluar dari rumah dan tinggal sendiri, anak juga bisa mulai diajak untuk
melihat calon rumah baru ayah/ibunya.
3.
Di luar perubahan yang terjadi
karena perceraian, usahakan agar sisi-sisi lain dan kegiatan rutin sehari-hari
si anak tidak berubah. Misalnya: tetap mengantar anak ke sekolah atau mengajak pergi jalan-jalan.
4.
Jelaskan kepada anak tentang
perceraian tersebut. Jangan menganggap anak sebagai anak kecil yang tidak tahu apa-apa, jelaskan dengan menggunakan bahasa
sederhana. Penjelasan ini mungkin perlu diulang ketika anak bertambah besar.
5.
Jelaskan kepada anak bahwa perceraian
yang terjadi bukan salah si anak.
6.
Anak perlu selalu diyakinkan
bahwa sekalipun orangtua bercerai tapi mereka tetap mencintai anak. Ini sangat penting dilakukan terutama dari orangtua yang
pergi, dengan cara: berkunjung, menelpon, mengirim surat atau kartu. Buatlah si anak tahu bahwa dirinya selalu diingat dan
ada di hati orangtuanya.
7.
Orangtua yang pergi, meyakinkan
anak kalau ia menyetujui anak tinggal dengan orangtua yang tinggal, dan menyemangati anak agar menyukai tinggal bersama orangtuanya
itu.
8.
Orangtua yang tinggal bersama
anak, memperbolehkan anak bertemu dengan orangtua yang pergi, meyakinkan anak bahwa dia menyetujui pertemuan tersebut dan
menyemangati anak untuk menyukai pertemuan tersebut.
9. Kedua orangtua, merancang rencana pertemuan yang rutin, pasti, terprediksi dan
konsisten antara anak dan orangtua yang pergi. Kalau anak sudah mulai beradaptasi dengan perceraian, jadwal pertemuan bisa
dibuat dengan fleksibel. Penting buat anak untuk tetap bisa bertemu dengan kedua orangtuanya. Tetap bertemu dengan kedua orangtua
membuat anak percaya bahwa ia dikasihi dan inginkan. Kebanyakan anak yang membawa hingga dewasa perasaan-perasaan ditolak
dan tidak berharga adalah akibat kehilangan kontak dengan orangtua yang pergi.
10.
Tidak saling mengkritik atau
menjelekkan salah satu pihak orangtua di depan anak.
11. Tidak menempatkan
anak di tengah-tengah konflik. Misalnya dengan menjadikan anak sebagai pembawa pesan antar kedua orangtua, menyuruh anak berbohong
kepada salah satu orangtua, menyuruh anak untuk memihak pada satu orangtua saja. Anak menyayangi kedua orangtuanya, menempatkannya
di tengah konflik akan membuatnya bingung, cemas dan mengalami konflik kesetiaan.
12. Tidak menjadikan
anak sebagai senjata untuk menekan pihak lain demi membela dan mempertahankan diri sendiri. Misalnya mengancam pihak yang
pergi untuk tidak boleh lagi bertemu dengan anak kalau tidak memberikan tunjangan; atau tidak diperbolehkan untuk bertemu
dengan anak supaya pihak yang pergi merasa sakit hati, sebagai usaha membalas dendam.
13.
Tetap mengasuh anak bersama-sama
dengan mengenyampingkan perselisihan.
14.
Memperkenankan anak untuk mengekspresikan
emosinya. Beresponlah terhadap emosi anak dengan kasih sayang, bukan dengan kemarahan atau celaan. Anak mungkin bingung dan
bertanya, biarkan mereka bertanya, jawablah pertanyaan tersebut baik-baik, dan bukan mengatakan "anak kecil mau tahu saja
urusan Mama Papa".
Dari saran-saran di atas terlihat jelas betapa pentingnya
kerja sama orangtua agar anak dapat beradaptasi dengan sukses dan betapa penting arti keberadaan orangtua bagi sang anak.
Saran-saran di atas bukanlah hal yang mudah dilakukan, apalagi jika perceraian diakhiri dengan perselisihan, ketegangan dan
kebencian satu sama lain. Keinginan untuk menarik anak ke salah satu pihak dan menentang pihak yang lain akan sangat menonjol
pada model perceraian tersebut. Tapi jika itu dilakukan, berarti orangtua sungguh-sungguh merupakan individu egois yang hanya
memikirkan diri sendiri, dan tidak memikirkan kesejahteraan dan masa depan anak. Mungkin ada yang berpikir "Anak saya baik-baik
saja kok, dia tidak apa-apa meskipun tidak ada ibunya/ayahnya. Lihat dia ceria-ceria saja, badannya sehat, sekolahnya juga
rajin". Tapi tahukah Anda apa sebenarnya yang ada dalam hati sang anak?
Kalau perceraian memang tak terhindari
lagi, maka mari membuat perceraian tersebut menjadi perceraian yang tidak merugikan anak. Suami-istri memang bercerai, tapi
jangan sampai anak dan orangtua ikut juga bercerai. Anak-anak sangat membutuhkan cinta dari kedua orangtua dan menginginkan
kedua orangtuanya menjadi bagian dalam hidup mereka. Bagi anak, rasa percaya diri, rasa diterima dan bangga pada dirinya sendiri
bergantung pada ekspresi cinta kedua orangtuanya. Bagi Anda yang akan, sedang atau telah bercerai, cobalah untuk selalu mengingat
hal tersebut dan masa depan anak-anak Anda. Perhatian berupa materi memang perlu, namun itu saja sangat tidak memadai untuk
membuat anak mampu beradaptasi dengan baik. Jangan lagi menjadikan negeri ini semakin carut marut dengan membiarkan
anak-anak kita yang tidak berdosa menjadi terlantar.